twitter


BAB I
PEMBAHASAN


I. Arti dan Makna Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata Yunani , yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat, kratos berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi artinya pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan.
Di dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English(Hornby, dkk: 261) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah, “(1)country with principles of government in which all adult citizent share their ellected representatives; (2) country with government which encourages and llows right of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the ssertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities; (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equal.”
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat di mana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih. Pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas, dan masyarakat ynag warga negaranya saling memberi peluang yang sama.
Istilah demokrasi pertama kali dipakai di Yunani kuno, khususnya di kota Athena, untuk menunjukkan sistem pemerintahan yang beraku di sana. Kota-kota di daerah Yunani pada waktu itu kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah. Dalam rapat itu diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah yang akan dilaksanakan dan segala permasalahan mengenai kenmsyarakatan.
Karena rakyat ikut serta secara langsung, pemerintah itu disebut pemerintahahn demokrasi langsung. Pemerintahan demokrasi langsung di Indonesia dapat kita lihat di dalam pemerintahan desa. Kepala desa atau lurah dipilih langsung oleh rakyat desa itu sendiri. Pemilihan kepala desa itu dilakukan secara sederhana sekali. Para calon menggunakan tanda gambar hasil pertanian, seperti padi atau pisang. Rakyat memberikan suara kepada calon masing-masing yang dipilih dengan memasukkan lidi ke dalam tabung bambu milik calon yang dipilihnya. Calon yang memiliki lidi terbanyaklah yang terpilih menjadi kepala desa. Di samping memilih kepala desa, pada hari-hari tertentu warga desa dikumpulkan oleh kepala desa di balai desa untuk membicarakan masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Peristiwa semacam ini dikenal dengan nama musyawarah desa.
Dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan penduduknya pun terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi diterapkan karena:
a. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar tidak mungkin disediakan.
b. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin dilaksanakan.
c. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir.
Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan demokrasi langsung juga mengalami kesukaran. Untuk memudahkan pelaksanaannya setiap penduduk dalam jumlah tertentu memilih wakilnya untuk duduk dalam suatu badan perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan perwakilan inilah yang kemudian menjalankan demokrasi. Rakyat tetap merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.
Bagi negara-negara modern demokrasi tidak langsung dilaksanakan karena hal-hal berikut:
a. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada suatu tempat tidak mungkin dilakukan.
b. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang tradisional.
c. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam mendosens kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup diserahkan kepada yang berminat dan mempunyai keahlian di bidang pemerintahan negara.
Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah zaman Yunani kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem pemerintahan yang absolut (monarki mutlak), yang menguasai pemerintahan di dunia Barat sebelumnya.
Di dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru ini mempunyai arti yang luas sebagai berikut:
a. Mula-mula demokrasi berarti politik yang mencakup pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti hak kemerdekaan pers, hak berapat, serta hak memilih dan dipilih untuk badan-badan perwakilan.
b. Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti luas, yang selain meliputi sistem politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial.
Dengan demikian, demokrasi dalam arti luas, selain mencakup pengertian demokrasi pemerintahan, juga meliputi demokrasi ekonomi dan sosial. Namun pengertian demokrasi yang paling banyak dibahas dari dahulu sampai sekarang ialah demokrasi pemerintahan.
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain. Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas pokok sebagai berikut.
a. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan. Misalnya, pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.
b. Pengakuan hakikat dan martabat manusia. Misalnya, tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995:6) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, Kekuasaan mayoritas, Hak-hak minoritas, Jaminan Hak Asasi Manusia, Pemilihan yang bebas dan jujur, Persamaan di depan hukum, Proses hukum yang wajar, Pembatasan pemerintahan secara konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai toleransi, Pragmatisme, Kerjasama dan mufakat.


II. Sejarah Demokasi
1. Demokrasi Masa Orde Lama (1959-1965)
Demokrasi parlementer menonjolkan perana parlemen serta partai politik. Demokrasi ini berlangsung di dalam negara menggunakan UUD 1945 dan UUD sementara 1950, pelaksanaan demokrasi ditandai dengan pemerintahan yang kurang stabil.demokrasi terpimpin yang menggantikan demokrasi parlementer di dalam banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menonjolkan aspek demokrasi rakyat serta dominasi presiden. Ketetapan MPRS NO. III/1963 yang mengangkat Presiden Soekarno seumur hidup semakin memberi peluang melakukan penyimpangan dan penumpukan kekuasaan di tangannya, namun sekaligus menjadi incaran kesempatan pihak komunis mempengaruhi kekuasaan Presiden.
Pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan masyarakat, bahkan kurangnya kestabilan dalam bidang pollitik, ekonomi, sosial maupun Hankam. Atas dasar tersebut maka Presiden menyatakan bahwa mengakibatkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamatan negara, maka Presiden mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Isi Dekrit tersebut adalah sebagai berikut:


i. Membubarakan Konstituante
ii. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUD 1950
iii. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesinfkat-singkatnya
Namun pelaksanaan demokrasi terpimpin itu dalam menyimak dari arti yang sebenarnya justru bertentangan dengan Pancasila. Yang berlaku adalah keinginan dan ambisi politik pemimpin sendiri. Kebijaksanaan yang menyimpang dari UUD 1945 dalam bidang politik adalah:
a) Pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 melalui Penetapan Presiden No.4 tahun 1960 dengan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
b) Membentuk MPRS yang anggotanya diangkat dan diberhantikan oleh Presiden.
c) Membentuk DPA dan MA dengan penetapan Presiden dan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
d) Lembaga-lembaga negara, seperti yang disebutkan di atas dipimpin sendiri oleh Presiden.
e) Mengangkat Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. II/MPRS/1963 tan Tap. MPR No. III/MPRS/1963.
f) Melalui ketetapan MPRS No.I/MPRS/1963 Manifesto politik dari Presiden dijadikan GBHN.
g) Hak budget tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Karena DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diajukan Presiden, maka DPR dibubarkan tahun 1960.
h) Menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA, MA. MPRS dan DPR-GR seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang tugasnya mengawasi jalannya pemerintahan, malah sebaliknya harus tunduk kepada kebijaksanaan Presiden.
Ideologi pancasila pada saat itu dirancang oleh PKI dengan menggantinya ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom. PKI sedang berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dengan membangun komunis internasional dengan RRC. Terbukti dibukanyahubungan poros Jakarta-Peking. Sebagai puncak peristiwa adalah meletuskan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), usahanya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Marxis.
Kenyataannya dalam ketatanegaraan Indonesia Demokrasi Parlementer yang disebut Bung Karno sebagai demokrasi barat yang bersifat liberal itu juh lebih demokratis daripada demokrasi terpimpin yang dianggap “asli” dan sesuai dengan “kepribadian Indonesia”. Dengan demikian dapat disimpulkkan bahwa konsep demokrasi justru bernilai dan cita-cita masyarakat beradab karena ia bersifat universal, tidak dibatasi oleh nilai-nilai yang bersifat lokal, yaitu nilai Barat atau nilai “asli” suatu bangsa.

2. Demokrasi Pancasila Orde Baru (1965-1998)
Orde baru mengambil tugas baru sebagai pencipta ketertiban politik dan kemantapan ekonomi. Orde baru bertolak belakang dengan orde lama dalam hal kebijakan ekonomi. Akan tetapi dalam hal sistem dan kebijakan politik cenderung otoriter dan monopolistik sebagai pelanjut dari rezim orde lama. Konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah yang memungkinkan oposisi tidak dapat melakukan kontrol. Pemerintah menganut kebijakan ekonomi campuran sehingga ekonomi nasional meningkat rata-rata 7 persen dari tahun 1969-1980an, tetapi kemudian membuka praktek monopoli, korupsi dan kolusi yang berskala massif antara penguasa dengan pengusaha. Penyimpangan serta skandal raksasa di bidang ekonomi, seperti kasus Bank Duta, Bapindo, dll. Menurut Didik Rachbini pada tahun 1993 sekitar 1 persen penduduk memperoleh 80 persen pendapatan nasional sedangkan 99 persen penduduk di tingkat bawah dan menengah menerima 20 persen.1
Sidang umum MPR tahun 1973 menetapkan Tap. MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dalam bab III menetapkan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang 25-30 tahun. Dalam konsiderannya disebutkan Pembangunan Berkesinambungan.
Sidang umum MPR tahun 1978 menetapkan Tap. MPR No. IV/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4). Pemerintah orde baru mendirikan lembaga BP-7 yang ditugasi mensosialisasikan P-4 kepada seluruh masyarakat dengan medota indotrinasi dengan sebutan metoda objektif praktis. Pada tahun 1980 melalui rekayasa lahirlah kebulatan tekad rakyat Indonesia yang mengangkat Presiden Suharto sebagai Bapak Pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan sebagai ideologi menggunakan Trilogi Pembangunan sebagai nilai instrumentalnya.
Tahun 1983 pemerintah mengajukan satu paket yang terdiri dari 5 Undang-Undang Politik tentang:
1. Susunan dan Kedudukan anggota MPR/DPR
2. Pemilihan Umum
3. Kepartaian dan Golkar
4. Organisasi Masyarakat
5. Referendum
Kelima paket Undng-Undang itu disetujui oleh DPR dengan tujuannya menjaga terpeliharanya kekuasaan dan menjaga kelanjutan pembangunan. Perubahan kondisi yang mengglobal mempengaruhi sikap masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menimbulkan sifat individualistik sehingga tebentuk masyarakat marginal dan konglomerasi yang terpusat pada kelompok tertentu yang berdasarkan ekonomi kapitalis dengan dalih kebebasan.
a) Pada kenyataannya Orde Baru telah jauh menyimpang dengan perjuangannya semula, yaitu:
b) Orde baru di bawah pimpinan Suharto secara ekslisit tidak mengakui 1 Juni sebagai lahirnya Pancasila.
c) Butir-butir P-4 mendidik secara halus ketaatan individu kepada kekuasaan dan tidak ada butir yang mencantumkan kewajiban Negara terhadap rakyatnya.
d) Pengamalan Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideologi, sehingga rekayasa mendukung Bapak Pembangunan melalui kebulatan tekad rakyat.

1. Mochtar Pabotinggi. 1995:28-29

Jenis-jenis Demokrasi

a. Demokrasi berdasarkan cara menyampaikan pendapat terbagi ke dalam:
1) Demokrasi langsung, dalam demokrasi langsung rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan.
2) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi ini dijalankan oleh rakyat melalui wakil rakyat yang dipilihnya melalui Pemilu. Rakyat memilih wakilnya untuk membuat keputusan politik Aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
3) Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat.
Demokrasi ini merupakan campuran antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Rakyat memilih wakilnya untuk duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat, tetapi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya diawasi rakyat melalui referendum dan inisiatif rakyat. Demokrasi ini antara lain dijalankan di Swiss. Referendum adalah pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung.
Referendum dibagi menjadi tiga macam:
(a) Referendum wajib
Referendum ini dilakukan ketika ada perubahan atau pembentukkan norma penting dan mendasar dalam UUD (Konstitusi) atau UU yang sangat politis. UUD atau UU tersebut yang telah dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan rakyat melalui pemungutan suara terbanyak. Jadi referendum ini dilaksanakan untuk meminta persetujuan rakyat terhadap hal yang dianggap sangat penting atau mendasar.
(b) Referendum tidak wajib
Referendum ini dilaksanakan jika dalam waktu tertentu setelah rancangan undang-undang diumumkan, sejumlah rakyat mengusulkan diadakan referendum. Jika dalam waktu tertentu tidak ada permintaan dari rakyat, Rancangan Undang-Undang itu dapat menjadi undang-undang yang bersifat tetap.
(c) Referendum konsultatif
Referendum ini hanya sebatas meminta persetujuan saja, karena rakyat tidak mengerti permasalahannya, pemerintah meminta pertimbangan

b. Demokrasi berdasarkan titik perhatian atau prioritasnya terdiri dari:
1) Demokrasi formal
Demokrasi ini secara hukum menempatkan semua orang dalam kedudukan yang sama dalam bidang politik, tanpa mengurangi kesenjangan ekonomi. Individu diberi kebebasan yang luas, sehingga demokrasi ini disebut juga demokrasi liberal.
2) Demokrasi Material
Demokrasi material memandang manusia mempunyai kesamaan dalam bidang sosial-ekonomi, sehingga persamaan bidang politik tidak menjadi prioritas. Demokrasi semacam ini dikembangkan di negara sosialis-komunis.
3) Demokrasi Campuran
Demokrasi ini merupakan campuran dari kedua demokrasi tersebut di atas. Demokrasi ini berupaya menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat dengan menempatkan persamaan derajat dan hak setiap orang.

c. Berdasarkan prinsip ideologi, demokrasi dibagi dalam:
1) Demokrasi liberal
Demokrasi ini memberikan kebebasan yang luas pada individu. Campur tangan pemerintah diminimalkan bahkan ditolak. Tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap warganya dihindari. Pemerintah bertindak atas dasar konstitusi (hukum warga).
2) Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar
Demokrasi ini bertujuan menyajahterakan rakyat. Negara yang dibentuk tidak mengenal perbedaan kelas. Semua warga negara mempunyai persamaan dalam hukum, politik.

d. Berdasarkan wewenang dan hubungan antar alat kelengkapan negara
1) Demokrasi sistem parlementar
Ciri-ciri pemerintahan parlementer, antara lain;
(a) DPR lebih kuat dari pemerintah
(b) Menteri bertangung jawab pada DPR
(c) Program kebijaksanaan kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen
(d) Kedudukan kepala negara sebagai simbol tidak dapat diganggu gugat
2) Demokrasi sistem pemisah/pembagian kekuasaan (presidensial)
Ciri-ciri pemerintahan yang menggunakan sistem presidensial adalah sebagai berikut
(a) Negara dikepalai presiden
(b) Kekuasaan eksekutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui badan perwakilan
(c) Presiden mempunyai kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri
(d) Menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR melainkan kepada Presiden
(e) Presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sama sebagai lembaga negara, dan tidak dapat saling membubarkan

Nilai-nilai Demokrasi
Sebenarnya, pengertian pokok demokrasi ialah adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan partisipasi rakyat. Akan tetapi, dalam pertumbuhannya, pengertian pokok itu telah mengalami banyak perubahan, terutama karena faktor politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Suatu negara dapat memberikan isi dan sifat kepada demokrasi yang berbeda dari isi dan sifat demokrasi di negara lain. Dengan demikian, bentuk demokrasi negara yang satu akan berbeda dengan bentuk demokrasi negara yang lain dan bentuk demokrasi itu pada suatu masa akan berbeda dari bentuk demokrasi pada satu masa yang lain. Misalnya, bentuk demokrasi pada masa sekarang berbeda dari bentuk demokrasi pada masa UUD RIS tahun 1949 dan masa UUD sementara tahun 1950.
Yang paling utama dalam menentukan berlakunya sistem demokrasi di suatu negara ialah ada atau tidaknya asas-asas demokrasi pada sistem itu, yaitu:
a. Pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap martabat manusia dengan tidak melupakan kepentingan umum.
b. Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Jika dukungan rakyat tidak ada, sulitlah dikatakan bahwa pemerintah itu adalah suatu pemerintahan demokrasi.
Di dunia barat, demokrasi berkembang di dalam suatu sistem masyarakat yang liberal (bebas, merdeka). Oleh karena itu, lahirlah suatu bentuk demokrasi yang dinamakan demokrasi liberal, yang menjunjung hak-hak asasi manusia setinggi-tingginya, bahkan kadang-kadang di atas kepentingan umum. Sebagai akibat demokrasi liberal ini, lahirlah sistem-sistem pemerintahan yang liberal. Di dalam sistem pemerintahan ini, peranan dan campur tangan pemerintah tidak terlalu banyak di dalam kehidupan masyarakat. Karena sistem ini sesuai dengan aspirasi rakyat di dunia barat, sistem pemerintahan yang liberal ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

Prinsip-Prinsip Demokrasi
Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:
1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.


III. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.
Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Ciri-Ciri Pemerintahan Yang Demokrasi
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatananyang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Beberapa kriteria yang harus dimiliki dalam suatu negara yang benar-benar menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, yaitu:
1. Partisipasi rakyat
2. Persamaan di depan hukum
3. Distribusi pendapatan secara adil
4. Kesempatan pendidikan yang sama
5. Ketersediaan dan keterbukaan informasi
6. Mengindahkan tata krama politik, dan lain-lain.
Sejak awal Indonesia menyatakan dirinya demokrasi yang dapat terlihat dalam konstitusi negara, namun dalam perjalanan kenegaraan kita melihat perkembangan demokrasi sebagai berikut:


IV. Perkembangan Civil Society dalam Demokrasi
1. Sejarah dan Pengertian Civil Society
Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari sebuah proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai cicero dan bahkan, menurut Manfret Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa abad 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Barulah pada paruh abad ke 18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan sturktur politik di Eropa sebagai akibat pencerahan dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut. Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan perangkat hukum dan administrasi.
Disamping itu, civil society menurut para tokoh juga bebeda-beda, seperti Hegel yang berpendapat entitas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri (a self crippling entity), oleh karena itu harus diawasi oleh negara. Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini, akhirnya memiliki gayut dengan pandangan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan dengan produksi kapitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tantangan baginya untuk membebaskan masyarakat dari berbagai penindasan, oleh karena itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bukan pada basic material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditempatkan sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuatan negara. Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Gramsci ini dikembangkan oleh Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.
Civil society atau Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Sebagai sebuah konsep, Civil society, datang dari Barat. Proses demokratisasi yang lebih dulu berlangsung di Barat telah menjadikan civil society bagian penting dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan mereka. Terutama dalam meretas peradaban yang dibangunnya. Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan memberikan peran — lewat pola bottom-up — yang lebih kuat pada masyarakat. Seiring dengan hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini terus berlanjut dan menguat di berbagai belahan bumi lainnya.
Civil society, atau yang juga dikenal dalam implementasinya tidaklah berjalan sewarna. Perbedaan tafsir atas pemberdayaan peran masyarakat kemudian melahirkan varian-varian pemahaman terhadap makna civil society dengan ragam kategorisasi yang dipengaruhi oleh dinamika dan kultur setempat, sehingga hari ini kita mengenal pemahaman tentang pengertian civil society versi “klasik” – “modern”, versi “barat” – “timur”, atau bahkan yang mengistilahkannya dengan versi “sekuler“- “agamis”, dan “liberal”- “neo liberal”.Selain dinamika dan kultur setempat, pengaruh eksternal juga telah member warna bagi eksisnya peran masyarakat sipil. Semua ini telah melahirkan berbagai varian dalam memahami konsep civil society. Perbedaan ini, sebenarnya wajar adanya.

2. Civil Society dalam Idealita
Pada dasarnya tujuan dari civil society akan mengkrucut pada “upaya pemberdayaan (empowerment) sekaligus revitalisasi (enrichment) kemerdekaan masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap negara secara sukarela, mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, urusan civil society tidak dapat dilepaskan dari faktor historis, kearifan budaya, serta tingkat “penetrasi” penguasa politik Negarake masyarakat. Faktor-faktor ini, telah menyebabkan terjadi “pasang-surut”nya gerakan civil society di Indonesia.
Tocqueville mengemukakan, bahwa civil society sebagai area kehidupan sosial yang terorganisasi, selalu bercirikan sifat kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan (self-supporting). Dengan begitu, maka civil society penerapannya tidaklah berlangsung dalam “ruang hampa”, sehingga ia menjadi leluasa berinteraksi dengan nilai-nilai budaya, ideologi dan agama yang dianut masyarakat. Sebagaimana juga di Barat, civil society di Indonesia mengalami dialektika dalam perkembangan sejarahnya. Secara teoritis, paling tidak ada tiga model konsep civil society yang berbeda dalam tataran praksis, yakni; top-down of civil society, bottom-up of civil society, dan pararelism of civil society. Hemat penulis, alam budaya masyarakat Indonesia lebih (cocok) menganut kepada konsep pararelism of civil society.
Konsep pararelisme, dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa antara posisi “negara” di satu pihak, dengan warga-kelompok masyarakat di sisi lain, tidaklah berada dalam posisi yang saling berhadapan, melainkan dalam posisi kemitraan-kesejajaran dalam membangun dan mengimplementasikan kesepakatan (contract). Dalam pemahaman ini, kita bisa meletakkan di mana posisi gotong-royong dalam kehidupan sosial, atau di mana posisi sekolah swasta/pesantren, rumah sakit maupun tempat ibadah yang didirikan atas swadaya masyarakat, atau bagaimana pula sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) memperoleh tempat di masyarakat. Semua itu menunjukkan bahwa aksi politik maupun sosial dalam praktisnya tidak berada dalam dominasi negara, melainkan secara swadaya dan mandiri, juga turut dilakukan oleh setiap warga. Konsep gotong royong adalah bukti bahwa civil society di Indonesia menganut paham kesejajaran (pararelism), bukan top-down sebagaimana yang dianut di negara totaliter-sosialis komunis, atau konsep bottom-up di negara yang berpaham individualisme, liberalisme dan kapitalisme.
Civil society tumbuh dan berkembang di Indonesia semenjak masa pergerakan nasional di awal abad ke-20. Pada masa itu kolonial Belanda mendorong pembentukan kesadaran sosial atau penguatan masyarakat sipil dengan membentuk berbagai organisasi dan perkumpulan yang bersifat modern. Wujud ini dikenal sebagai civil society dengan aspirasi lebih kuat pada organisasi keagamaan dan kebudayaan yang spiritnya “membangun masyarakat” bukan membangun negara.
Civil society mengalami penguatan pada pascarevolusi kemerdekaan di tahun 1950-an. Ketika itu pemerintah memberi kebebasan yang luas kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendirikan organisasi sosial maupun organisasi politik, seiring dengan komitmen kuat untuk memperaktekan sistem demokrasi (parlementer). Konstelasi ini menciptakan relasi antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan pemerintah dalam posisi masyarakat sipil menjadi penyeimbang untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuatan negara.
Dalam konteks ini, negara secara tidak langsung ikut membentuk civil society melalui pembangunan, khususnya di masa Orde Baru. Di lain pihak, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan mengalami revitalisasi. Contoh konkret; keberadaan Muhammadiyah, NU, tumbuhnya pesantren-pesantren, Taman Siswa serta lahirnya LSM-LSM sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kekuatan yang memberdayakan masyarakat marjinal selain adanya pengintegrasian agama ke dalam Negara.
Orde Baru, di balik keberhasilan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan prasarana infrastruktur di era 1980-an hingga tahun 1995-an, warga merasa telah mengalami penetrasi negara yang demikian kuat di segala sector. Penetrasi negara itu dilakukan dengan menggunakan berbagai jaringan dan instrumen pemerintahan, baik melalui bidang sosial, politik juga ekonomi. Terutama melalui birokrasi dan aparat keamanan, ini telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang kebebasan yang sebelumnya pernah dimiliki masyarakat Indonesia . “Kelas menengah” yang diharapkan semakin mandiri sebagai pengimbang kekuatan negara sebagaimana yang tumbuh di negara-negara Barat dan negara maju, dalam kenyataannya melalui mengalami “ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara. Kelompok intelektual, terdidik dan kalangan menengah telah membentuk kemajuan yang disebut sebagai “kapitalis semu” (erzat capitalism).

3. Peran Civil Society dalam Demokrasi
Di dalam upaya untuk mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara. Dan rasanya sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan sistem demokrasi. Seperti Indonesia misalnya, di Negara kita ini memiliki pluralitas yang cukup tinggi sehingga seperti yang kita lihat saat ini, untuk menerapkan Demokrasi rupanya masih kesulitan. Demokrasi ternyata tak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jurdil-jujur dan adil-atau terjungkalnya sebuah pemerintahan otoriter. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan sistem politik yang memungkinkan checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.
Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kedua aspek itu belum muncul. Selain kepemimpinan politik bangsa ini sangat lemah, masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi, yang menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa dan membuat organisasi tandingan.
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memosisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan".
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di masa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utama kita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. perluasan dan pendalaman demokrasi akan tercapai bukan semata-mata karena niat tulus belaka, namun lebih dari itu harus ada kepemimpinan politik yang memiliki visi kerakyatan, reformis, dan berani dalam melakukan perubahan. Jika kepemimpinan yang diharapkan tidak terwujud, maka gerakan sosial civil society dapat menjadi kekuatan oposisi yang menekan penguasa untuk mempercepat agenda perubahan sebagai upaya terjadinya konsolidasi demokrasi yang kuat.
Perspektif Global
I. Pengaruh Positif dan Negatif Globalisasi
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
 Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
 Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

II. Perspektif Demokrasi
Demokrasi masih menjadi sebuah agenda penting pembicaraan di seluruh dunia. Manusia dari berbagai bangsa atau negara, dengan berbagai latar belakang agama, peradaban, dan sejarah, umumnya mengakui demokrasi sebagai sesuatu yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi diagungkan banyak orang terutama dalam bidang politik (walaupun saat ini nilai demokrasi mulai dikembangkan di bidang-bidang lain, termasuk dalam masalah agama). Sistem politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap sistem politik yang kuno, tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan mustahil bisa membawa kemajuan di zaman ini. Demokrasi telah dianggap sebagi sebuah norma global dunia di era globalisasi ini, sampai-sampai Saiful Mujani1 (seorang peneliti pada Pusat Kajian Masyarakat Islam) mengatakan bahwa hampir tidak mungkin menolak demokrasi di zaman sekarang ini. Demokrasi sudah menjadi semangat dan anak zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan menolak zaman.

III. Perspektif Demokrasi Versus Perspektif Otoritarianisme2
Orang mungkin menggunakan kata yang sama : "demokrasi". Tapi agaknya orang memang tidak bisa memiliki pengertian yang satu tentang kata itu. Zaim Saidi3 mengatakan bahwa sampai pada arti demokrasi yang kurang lebih adalah kedaulatan ( di tangan) rakyat, semua orang sepakat.Sampai pada slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak ada pihak yang tidak sepakat. Cara pandang seseorang mengenai masyarakatlah yang membuatnya memiliki tafsiran tersendiri mengenai rakyat, yang selanjutnya berpengaruh terhadap tafsiran demokrasi. Masyarakat kapitalis menekankan pada arti bahwa rakyat terdiri atas pribadi-pribadi (individu-individu) merdeka. Dari individu yang merdeka itulah terbentuk rakyat yang merdeka. Jadi, kemerdekaan atau kebebasan manusia sebagai individulah yang paling ditekankan (penekanan utama) dalam kebijakan mengurus negara. Kemerdekaan atau kebebasan individu inilah yang menjadi inti dari demokrasi, yang dipraktekkan oleh masyarakat kapitalis. Demokrasi ini dikenal dengan nama demokrasi liberal.

1. Saiful Mujai dalam tulisannya : "Demokrasi dan Retorika Kelompok Dominan (Catatan untuk Denny J.A), Harian Republika, 4Agustus 1995
2. Otoritarianisme adalah faham yang mengesahkan sifat otoriter dalam kekuasaan, artinya mengesahkan kekuasaan yang dilakukan secara sewenang-wenang
3. Zaim Saidi dalam tulisannya : Demokrasi, di Harian Republika, 30 Januari 1994



Masyarakat sosialis-komunis mendefinisikan rakyat sebagai lapisan rakyat yang menurut mereka, adalah rakyat miskin dan tertindas di segala bidang kehidupan. Rakyat miskin (kaum proletar dan buruh) akan memimpin revolusi sosialis melalui wakil-wakil mereka dalam partai komunis. Kepentingan yang harus diperjuangkan bukanlah kemerdekaan pribadi. Bahkan, kemerdekaan pribadi menurut masyarakat sosialis-komunis harus ditiadakan karena satu-satunya kepentingan hanyalah kepentingan rakyat secara kolektif, yang dalam hal ini diwakili oleh partai komunis. Dengan demikian masyarakat sosialis-komunis, juga mengakui kedaulatan rakyat. Mereka pun menjunjung tinggi demokrasi, yang dikenal sebagai demokrasi komunis.
Masyarakat Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) menganggap dari merekalah dunia harus belajar tentang seluk-beluk demokrasi. Suatu hal hal yang wajar, karena ajaran demokrasi memang muncul pertama kali pada masyarakat Barat. Menurut Barat, yang bisa disebut demokrasi hanyalah demokrasi yang bercirikan kebebasan individu seperti yang mereka praktekkan. Di luar itu, kekuasaan yang cenderung mementingkan kepentingan masyarakat (secara komulatif) akan mereka beri cap otoritarianisme. Karenya mereka menganggap demokrasi komunis bersifat otoriter, demikian juga kepemimpinan tunggal yang diajarkan oleh Islam. Masyarakat Barat tidak hanya berhenti sampai pada memberi cap otoritarianisme, namun mereka memaksa semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal, terlebih lagi setelah runtuhnya negara adidaya komunis Uni Soviet.

IV. Akomodasi Nilai Demokrasi Liberal dengan Nilai Lokal
Walaupun Barat berusaha memaksakan warna demokrasi pada bangsa-bangsa lain, tampaknya demokrasi liberal tidak bisa diterima secara utuh oleh setiap bangsa. Seperti yang dikemukakan oleh Presiden RI, Soeharto; "Demokrasi bisa diperjuangkan tanpa perlu mengikuti bentuk yang diperagakan di Barat dan lebih mencerminkan nilai-nilai setempat. Yang terpenting adalah bahwa setiap anggota masyarakat berhak berpartisipasi dan memiliki keterlibatan bebas dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut dirinya. Karena itu landasan umumnya tetap keharusan mempraktekkan pemilikan umum yang bebas dan adil untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin politik ".4
Chan Heng Chee5, Direktur Institute of Southeast Asian Studies, mengemukakan hasil pengamatannya terhadap "demokrasi Asia". Yakni suatu bentuk demokrasi6 yang merupakan bentuk akomodasi demokrasi dengan nilai-nilai tradisional Asia. Ia mengatakan bahwa demokrasi khas Asia ini memiliki empat karakteristik yaitu : (1) adanya rasa komunitarian yang memberikan tekanan besar kepada kebaikan bersama, (2) adanya penerimaan yang luas dan penghargaan kepada otoritas dan hirarki, (3) adanya suatu partai

4. Afif Hersubeno dan Bani Saksono dalam tulisannya :"Presiden : Demokrasi Bukan konsep Statis". Harian republika, 22 Maret 1994
5. Pernyataan Chan Heng Chee seperti yang dikutip Ade Armando dalam tulisannya : Inilah Dia Demokrasi Asia. Harian Republika, 5 Desember 1994
6. Akomodasi adalah proses penyesuaian atau harmonisasi nilai untuk meredakan pertentangan yang ada

dominan yang harus berkuasa selama dua atau tiga dekade lebih, (4) adanya birokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat. Empat ciri yang dikemukakan ini semuanya berbeda dengan ciri demokrasi liberal. Warna komunitarian jelas berbeda dengan warna kebebasan individu. Semua hal ini tidak dipandang membahayakan di Asia. Sementara pada masyarakat Barat, semua hal ini dipandang harus ditiadakan karena akan mengancam kepentingan individu. Masyarakat Barat memandang kepentingan masyarakat akan terwujud dengan terwujudnya kepentingan individu. Dengan demikian kepentingan individulah yang harus dijamin terealisasi.
Akomodasi juga terjadi antara nilai demokrasi barat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh kaum muslimin. Padahal sesungguhnya ajaran Islam bertolak belakang dengan ajaran demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb:"Setiap gagasan mengenai kedaulatan rakyat adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Allah dan merupakan suatu bentuk tirani, karena menundukkan kehendak seorang individu kepada orang lain. Mengakui kekuasaaan Allah artinya melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian (bentuk, sistem dan kondisi). Itu juga merupakan pembangkangan terhadap semua kondisi di bumi, dimana manusia berkuasa… dimana sumber kekuasaan adalah manusia ".7
Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin yang merasa lelah berjuang melawan kedzoliman bangsa Barat yang menjajah mereka, justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkanuntuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka mulai ‘menutup mata’ terhadap perbedaan antara nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat ‘seolah-olah’ ada persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada lafazh tersebut. Mereka menganggap demokrasi sesuai dengan Islam karena demokrasi dibangun atas dasar syuro (musyawarah) seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Padahal asaas dan hakikat syuro dalam demokrasi tidaklag sama dengan yang dimaksud dalam Al Qur’an.
Masyarakat Indonesia mengembangkan bentuk demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal, juga berbeda dengan demokrasi komunis. Demokrasi di Indonesia dikatakan dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan asas kekeluargaan8. Dasar Ketuhanan berarti bahwa ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan motivator dan landasan etik, moral dan spiritual dalam kekuasaan. Kekeluargaan berarti yang harus dijadikan tujuan pengelolaan negara ialah kesejahteraan seluruh rakyat dan penyelesaian-penyelesaian permasalahan harus dilakukan dengan musyawarah penuh semangat kekeluargaan.

7. Kutipan dari "Islam dan Demokrasi" oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori. Islamica No.4, April 1994
8. Seperti yang dikemukakan Victor I. Tanja dalam tulisan : Demokrasi Berketuhanan. Hrian republika, 4 Agustus 1995









Daftar Pustaka




 Giddens, Anthony. 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
 Hikam, Muhammad A.S.. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta:LP3ES.
 http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385
 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/19/opini/civi04.htm
 Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara
 Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal
 Isjoni. 2008. Memajukan Bangsa dengan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 Sukirman, Hartati, dkk. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
 Tilaar, HAR. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
 http://www.gemari.or.id/artikel/2420.shtml
 http://re-searchengines.com/1007renggani.html
 Syarbaini, Syahrial. 2010. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Graha Ilmu


Tokoh-Tokoh Psikologi
Mempelajari ilmu psikologi tentu belum terasa lengkap tanpa mengenal para tokoh yang menjadi pendiri atau yang mempelopori berbagai teori psikologi yang digunakan saat ini. Selain itu demi memenuhi banyak permintaan dari para pembaca, maka kami mencoba untuk menguraikan riwayat singkat para tokoh psikologi dan hasil karya mereka. yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien.Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person (1961).
Wilhelm Wundt (1832 – 1920)
Wilhelm Wundt dilahirkan di Neckarau pada tanggal 18 Agustus 1832 dan wafat di Leipzig pada tanggal 31 Agustus 1920. Wilhelm Wundt seringkali dianggap sebagai bapak psikologi modern berkat jasanya mendirikan laboratorium psikologi pertama kali di Leipzig. Ia mula-mula dikenal sebagai seorang sosiolog, dokter, filsuf dan ahli hukum.
Gelar kesarjanaan yang dimilikinya adalah dari bidang hukum dan kedokteran. Ia dikenal sebagai seorang ilmuwan yang banyak melakukan penelitian, termasuk penelitian tentang proses sensory (suatu proses yang dikelola oleh panca indera). Pada tahun 1875 ia pindah ke Leipzig, Jerman, dan pada tahun 1879 ia dan murid-muridnya mendirikan laboratorium psikologi untuk pertama kalinya di kota tersebut. Berdirinya laboratorium psikologi inilah yang dianggap sebagai titik tolak berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu-ilmu induknya (Ilmu Filsafat & Ilmu Faal).
Sebelum tahun 1879 memang orang sudah mengenal psikologi, tetapi belum ada orang yang menyebut dirinya sarjana psikologi. Sarjana-sarjana yang mempelajari psikologi umumnya adalah para filsuf,ahli ilmu faal atau dokter. Wundt sendiri asalnya adalah seorang dokter,tetapi dengan berdirinya laboratorium psikologinya, ia tidak lagi disebut sebagai dokter atau ahli ilmu faal, karena ia mengadakan eksperimen-eksperimen dalam bidang psikologi di laboratoriumnya. Wundt mengabdikan diri selama 46 tahun sisa hidupnya untuk melatih para psikolog dan menulis lebih dari 54.000 halaman laporan penelitian dan teori.
Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain:
“Beitrage Zur Theorie Der Sines Wahrnemung” (Persepsi yang dipengaruhi kesadaran,1862),
“Grund zuge der Physiologischen Psychologie”
(Dasar fisiologis dari gejala-gejala psikologi, 1873) dan “Physiologische Psychologie”.
Erik Homburger Erikson
Erik Homburger Erikson dilahirkan di Frankfurt, Jerman, pada tahun 1902. Ayahnya adalah seorang keturunan Denmark dan Ibunya seorang Yahudi. Erikson belajar psikologi pada Anna Freud (putri dari Sigmund Freud)di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu tahun 1927-1933.Pada tahun 1933 Erikson pindah ke Denmark dan disana ia mendirikan pusat pelatihan psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada tahun 1939 ia pindah ke Amerika serikatdan menjadi warga negara tersebut, dimana ia sempat mengajardi beberapa universitas terkenal seperti Harvard, Yale, dan University of California di Berkley.
Erik Erikson sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya di bidang psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Dia mengembangkan teori yang disebut theory of Psychosocial Development (teori perkembangan psikososial) dimana ia membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi delapan tahapan. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Erikson dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat, diantaranya adalah:
(1) Young Man Luther: A Study in Psychoanalysis and History (1958),
(2) Insight and Responsibility (1964), dan Identity: Youth and Crisis (1968).
Ivan Pavlov (1849 – 1936)
Ivan Petrovich Pavlov dilahirkan di Rjasan pada tanggal 18 September 1849 dan wafat di Leningrad pada tanggal 27 Pebruari 1936. Ia sebenarnya bukanlah sarjana psikologi dan tidak mau disebut sebagai ahli psikologi, karena ia adalah seorang sarjana ilmu faal yang fanatik. Eksperimen Pavlov yang sangat terkenal di bidang psikologi dimulai ketika ia melakukan studi tentang pencernaan.
Dalam penelitian tersebut ia melihat bahwa subyek penelitiannya (seekor anjing) akan mengeluarkan air liur sebagai respons atas munculnya makanan. Ia kemudian mengeksplorasi fenomena ini dan kemudian mengembangkan satu studi perilaku (behavioral study) yang dikondisikan, yang dikenal dengan teori Classical Conditioning. Menurut teori ini, ketika makanan (makanan disebut sebagai the unconditioned or unlearned stimulus – stimulus yang tidak dikondisikan atau tidak dipelajari) dipasangkan atau diikutsertakan dengan bunyi bel (bunyi bel disebut sebagai the conditioned or learned stimulus – stimulus yang dikondisikan atau dipelajari), maka bunyi bel akan menghasilkan respons yang sama, yaitu keluarnya air liur dari si anjing percobaan.
Hasil karyanya ini bahkan menghantarkannya menjadi pemenang hadiah Nobel.Selain itu teori ini merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviourisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar.
Emil Kraepelin (1856 – 1926)
Emil Kraepelin dilahirkan pada tanggal 15 Pebruari 1856 di Neustrelitz dan wafat pada tanggal 7 Oktober 1926 di Munich. Ia menajdi dokter di Wurzburg tahun 1878,lalu menjadi dokter di rumah sakit jiwa Munich.Pada tahun 1882 ia pindah ke Leipzig untuk bekerja dengan Wundt yang pernah menjadi kawannya semasa mahasiswa. Dari tahun 1903 sampai meninggalnya, ia menjadi profesor psikiatri di klinik psikiatri di Munich dan sekaligus menjadi direktur klinik tersebut.
Emil Kraepelin adalah psikiatris yang mempelajari gambaran dan klasifikasi penyakit-penyakit kejiwaan, yang akhirnya menjadi dasar penggolongan penyakit-penyakit kejiwaan yang disebut sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM),diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA). Emil Kraepelin percaya bahwa jika klasifikasi gejala-gejala penyakit kejiwaan dapat diidentifikasi maka asal usul dan penyebab penyakit kejiwaan tersebut akan lebih mudah diteliti. Kraepelin menjadi terkenal terutama karena penggolongannya mengenai penyakit kejiwaan yang disebut psikosis. Ia membagi psikosis dalam dua golongan utama yaitudimentia praecox dan psikosis manic-depresif. Dimentia praecox merupakan gejala awal dari penyakit kejiwaan yang disebut schizophrenia.
Kraepelin juga dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menggunakan metode psikologi pada pemeriksaan psikiatri,antara lain menggunakn test psikologi untuk mengetahui adanyakelainan-kelainan kejiwaan. Salah satu test yang diciptakannya di kenal dengan nama test Kraepelin.Test tersebut banyak digunakan oleh para sarjana psikologi di Indonesia pada era tahun 1980an.
Sigmund Freud (1856 – 1939)
Sigmund Freud dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg (Austria), pada masa bangkitnya Hitler, dan wafat di London pada tanggal 23 September 1939. Ia adalah seorang Jerman keturunan Yahudi. Pada usia 4 tahun ia dan keluarga pindah ke Viena, dimana ia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya. Meskipun keluarganya adalah Yahudi namun Freud menganggap bahwa dirinya adalah atheist. Semasa muda ia merupakan anak favorit ibunya. Dia adalah satu-satunya anak (dari tujuh bersaudara) yang memiliki lampu baca (sementara yang lain hanya menggunakan lilin sebagai penerang) untuk membaca pada malam hari dan satu-satunya anak yang diberi sebuah kamar dan perabotan cukup memadai untuk menunjang keberhasilan sekolahnya. Freud dikenal sebagai seorang pelajar yang jenius,menguasai 8 (delapan) bahasa dan menyelesaikan sekolah kedokteran pada usia 30 tahun. Setelah lulus ia memutuskan untuk membuka praktek di bidang neurologi.
Pada tahun 1900, Freud menerbitkan sebuah buku yang menjadi tonggak lahirnya aliran psikologi psikoanalisa. Buku tersebut berjudul Interpretation of Dreams yang masih dikenal sampai hari ini. Dalam buku ini Freud memperkenalkan konsep yang disebut “unconscious mind” (alam ketidaksadaran).
Selama periode 1901-1905 dia menerbitkan beberapa buku, tiga diantaranya adalah The Psychopathology of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their relation to the Unconscious (1905).
Pada tahun 1902 dia diangkat sebagai profesor di University of Viena dan saat ini namanya mulai mendunia. Pada tahun 1905 ia mengejutkan dunia dengan teori perkembangan psikoseksual (Theory of Psychosexual Development) yang mengatakan bahwa seksualitas adalah faktor pendorong terkuat untuk melakukan sesuatu dan bahwa pada masa balita pun anak-anak mengalami ketertarikan dan kebutuhan seksual. Beberapa komponen teori Freud yang sangat terkenal adalah:
• The Oedipal Complex, dimana anak menjadi tertarik
• pada ibunya dan mencoba mengidentifikasi diri seperti
• sang ayahnya demi mendapatkan perhatian dari ibu
• Konsep Id, Ego, dan Superego
• Mekanisme pertahanan diri (ego defense mechanisms)
Istilah psikoanalisa yang dikemukakan Freud sebenarnya memiliki beberapa makna yaitu:
(1) sebagai sebuah teori kepribadian dan psikopatologi,
(2) sebuah metode terapi untuk gangguan-gangguan kepribadian, dan
(3) suatu teknik untuk menginvestigasi pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan individu yang tidak disadari oleh individu itu sendiri. Sejak the Psychoanalytic Society (Perhimpunan Masyarakat Psikoanalisa)didirikan pada tahun 1906, maka muncul beberapa ahli psikologi yang dua diantaranya adalah Alfred Adler dan Carl Jung.
Pada tahun 1909 Freud mulai dikenal di seluruh dunia ketika ia melakukan perjalanan ke USA untuk menyelenggarkan Konferensi International pertama kalinya. Freud dikenal sebagai seorang perokok beratyang akhirnya menyebabkan dia terkena kanker pada tahun 1923 dan memaksanya untuk melakukan lebih dari 30 kali operasi selama kurang lebih 16 tahun. Pada tahun 1933, partai Nazy di Jerman melakukan pembakaran terhadap buku-buku yang ditulis oleh Freud. Dan ketika Jerman menginvasi Austria tahun 1938, Freud terpaksa melarikan diri ke Inggris dan akhirnya meninggal di sana setahun kemudian.
Alfred Binet (1857 – 1911)
Alfred Binet dikenal sebagai seorang psikolog dan juga pengacara (ahli hukum). Hasil karya terbesar dari Alfred Binet di bidang psikologi adalah apa yang sekarang ini dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Sebagai anggota komisi investigasi masalah-masalah pendidikan di Perancis, Alfred Binet mengembangkan sebuah test untuk mengukur usia mental (the mental age atau MA) anak-anak yang akan masuk sekolah. Usia mental tersebut merujuk pada kemampuan mental anak pada saat ditest dibandingkan pada anak-anak lain di usia yang berbeda. Dengan kata lain, jika seorang anak dapat menyelesaikan suatu test atau memberikan respons secara tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diperuntukan bagi anak berusia 8 (delapan) maka ia dikatakan telah memiliki usia mental 8 (delapan) tahun.Test yang dikembangkan oleh Binet merupakan test intelegensi yang pertama,meskipun kemudian konsep usia mental mengalami revisisebanyak dua kali sebelum dijadikan dasar dalam test IQ.
Pada tahun 1914, tiga tahun setelah Binet wafat, seorang psikolog Jerman, William Stern,mengusulkan bahwa dengan membagi usia mental anak dengan usia kronological (Chronological Age atau CA), maka akan lebih memudahkan untuk memahami apa yang dimaksud “Intelligence Quotient”. Rumus ini kemudian direvisi oleh Lewis Terman,dari Stanford University, yang mengembangkan test untuk orang-orang Amerika. Lewis mengalikan formula yang dikembangkan Stern dengan angka 100. Perhitungan statistik inilah yang kemudian menjadi definisi atau rumus untuk menentukan Intelligensi seseorang: IQ=MA/CA*100.Test IQ inilah yang dikemudian hari dinamai Stanford-Binet Intelligence Test yang masih sangat populer sampai dengan hari ini.
Alfred Adler(1870 – 1937)
Alfred Adler dilahirkan pada tanggal 7 Pebruari 1870 di Viena (Austria) dan wafat pada tanggal 28 Mei 1937 di Aberdeen (Skotlandia). Ia adalah seorang Yahudi yang lahir dari keluarga yang termasuk dalam status sosial ekonomi kelas menengah pada saat itu. Semasa muda Adler mengalami masa-masa yang sangat sulit. Ketika ia berusia 5 tahun ia terkena penyakit pneumonia (radang paru-paru) yang menurut dokter hampir mustahil untuk disembuhkan.
Ketika mendengar kabar tersebut, Adler berjanji jika ia bisa sembuh maka ia akan menjadi dokter dan bertekad untuk memerangi penyakit yang mematikan tersebut. Akhirnya pada tahun 1895, setelah dinyatakan sembuh dari penyakitnya, ia benar-benar mewujudkan tekadnya dan berhasil meraih gelar sarjana kedokteran dari University of Vienna. Ia akhirnya dikenal sebagai seorang ahli penyakit dalam. Tahun 1898, ia menulis buku pertamanya yang memfokuskan pada pendekatan kemanusiaan dan penyakit dari sudut pandang individu sebagai pribadi bukan membagi-baginya menjadi gejala, insting,atau dorongan-dorongan. Pada tahun 1902, ia mendapat tawaran kerjasama dari Freud untuk bergabung dalam kelompok diskusi untuk membahas masalah psikopatologi.
Adler akhirnya ikut bergabung dan kemudian menjadi pengikut setia Freud, namun hubungan tersebut tidak berlangsung lama. Pada tahun 1907,Adler menulis sebuah paper berjudul “Organ Inferiority” yang menjadi pemicu rusaknya hubungan Freud dengan Adler.
Dalam tulisan tersebut Adler mengatakan bahwa setiap manusiapada dasarnya mempunyai kelemahan organis. Berbeda dengan hewan, manusia tidak dilengkapi dengan alat-alat tubuh untuk melawan alam. Kelemahan-kelemahan organis inilah yang justru membuat manusia lebih unggul dari makhluk-makhluk lainnya, karena mendorong manusia untuk melakukan kompensasi (menutupi kelemahan). Adler juga tidak sependapat dengan teori psikoseksual Freud. Pada tahun 1911, Adler meninggalkan kelompok diskusi, bersama dengan delapan orang koleganya, dan mendirikan sekolah sendiri. Sejak itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan Freud.
Carl Jung (1875 – 1961)
Carl Gustav Jung dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1875 di Kesswyl (Switzerland) dan wafat pada tanggal 6 Juni 1961 di Kusnacht (Switzerland).Dimasa kanak-kanak Jung sudah sangat terkesan dengan mimpi, visi supernatural, dan fantasi. Ia menyakini bahwa dirinya memiliki informasi rahasia tentang masa depan dan berfantasi bahwa dirinya merupakan dua orang yang berbeda. Jung lulus dari fakultas kedokteran di University of Basel dengan spesialisasi di bidang psikiatri pada tahun 1900.
Pada tahun yang sama ia bekerja sebagai assistant di rumah sakit jiwa Zurich yang membuatnya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang kehidupan para pasien schizophrenic yang akhirnya membawa Jung melakukan kontak dengan Freud. Setelah membaca tulisan Freud yang berjudul Interpretation of Dreams, Jung mulai melakukan korespondensi dengan Freud. Akhirnya mereka bertemu di rumah Freud di Vienna tahun 1907. Dalam pertemuan tersebut Freud begitu terkesan dengan kemampuan intelektual Jung dan percaya bahwa Jung dapat menjadi juru bicara bagi kepentingan psikoanalisa karena ia bukan orang Yahudi.
Jung juga dianggap sebagai orang yang patut menjadi penerus Freud dan berkat dukungan Freud Jung kemudian terpilih sebagai presiden pertama International Psychoanalytic Association pada tahun 1910. Namun pada tahun 1913, hubungan Jung dan Freud menjadi retak. Tahun berikutnya, Jung mengundurkan diri sebagai presiden dan bahkan keluar dari keanggotaan assosiasi tersebut. Sejak saat itu Jung dan Freud tidak pernah saling bertemu.

Burrhus F. Skinner (1904 – 1990)

Burrhus Frederic Skinner dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Susquehanna, Pennsylvania, pada tahun 1904 dan wafat pada tahun 1990 setelah terserang penyakit leukemia. Skinner dibesarkan dalam keluarga sederhana, penuh disiplin dan pekerja keras. Ayahnya adalah seorang jaksa dan ibunya seorang ibu rumah tangga.Skinner mendapat gelar Bachelor di Inggris dan berharap bahwa dirinya dapat menjadi penulis. Semasa bersekolah memang ia sudah menulis untuk sekolahnya, tetapi ia menempatkan dirinya sebagai outsider (orang luar), menjadi atheist, dan sering mengkritik sekolahnya dan agama yang menjadi panutan sekolah tersebut. Setelah lulus dari sekolah tersebut, ia pindah ke Greenwich Village di New York City dan masih berharap untuk dapat menjadi penulis dan bekerja di sebuah surat kabar. Pada tahun 1931, Skinner menyelesaikan sekolahnya dan memperoleh gelar sarjana psikologi dari Harvard University. Setahun kemudian ia juga memperoleh gelar doktor (Ph.D) untuk bidang yang sama.

Pada tahun 1945, ia menjadi ketua fakultas psikologi di Indiana University dan tiga tahun kemudian ia pindah ke Harvard dan mengajar di sana sepanjang karirnya. Meskipun Skinner tidak pernah benar-benar menjadi penulis di surat kabar seperti yang diimpikannya, ia merupakan salah satu psikolog yang paling banyak menerbitkan buku maupun artikel tentang teori perilaku/tingkahlaku, reinforcement dan teori-teori belajar. Skinner adalah salah satu psikolog yang tidak sependapat dengan Freud. Menurut Skinner meneliti ketidaksadaran dan motif tersembunyi adalah suatu hal yang percuma karena sesuatu yang bisa diteliti dan diselidiki hanya perilaku yang tampak/terlihat.

Oleh karena itu, ia juga tidak menerima konsep tentang self-actualization dari Maslow dengan alasan hal tersebut merupakan suatu ide yang abstrak belaka. Skinner memfokuskan penelitian tentang perilaku dan menghabiskan karirnya untuk mengembangkan teori tentang Reinforcement. Dia percaya bahwa perkembangan kepribadian seseorang, atau perilaku yang terjadi adalah sebagai akibat dari respond terhadap adanya kejadian eksternal.

Dengan kata lain, kita menjadi seperti apa yang kita inginkan karena mendapatkan reward dari apa yang kita inginkan tersebut. Bagi Skinner hal yang paling penting untuk membentuk kepribadian seseorang adalah melalui Reward & Punishment. Pendapat ini tentu saja amat mengabaikan unsur-unsur seperti emosi, pikiran dan kebebasan untuk memilih sehingga Skinner menerima banyak kritik.

Abraham Maslow (1908 – 1970)
Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).


Konsep Psikologi Islami
Pembicaraan (lebih tepat silang pendapat) seputar psikologi islami di Indonesia, bisa dikatakan masih sebatas lontaran-lontaran pemikiran. Urun gagasan ini terasa belum menggigit sampai tataran ilmiah yang diharapkan, namun demikian beberapa pendahuluan karya-karya yang masih deskriptif ataupun try and error mulai bermunculan. Beberapa karya boleh disebutkan disini seperti : Dilema Psikologi Muslim, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, Nafsiologi, Integrasi Psikologi dengan Islam, Psikologi Qur’ani. Paradigma Psikologi Islami dan beberapa karya tulisyang tersebar dalam berbagai jurnal dan media.
Meskipun karya-karya tersebut mulai saling terkomunikasikan, namun saya melihat masih terdapat “kemandegan” dibandingkan islamisasi ilmu pengetahuan pada bidang-bidang lainnya. Secara garis besar dapat saya rangkum persoalan yang masih menyelimuti “kemandegan” pengembangan psikologi Islami, yaitu :

a. Berkaitan dengan Istilah yang dipakai untuk mewakili secara “pas” tentang idea-idea. (dalam makalah ini saya menggunakan istilah “Psikologi Islami”
b. Proses pemwujudan “bangunan” psikologi yang dikehendaki. Disini dapat saya pisahkan menjadi: Westernisasi Islam Vs Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan di satu pihak lain meragukan keduanya karena Ilmu adalah Islami.
c. Keinginan sebagian pihak menghendaki dibangunnya suatu “Grand theory” yang murni dibangun dari “Istilah-aksioma-dalil” dari dua sumber utama Al Qur’an dan Hadits serta hasil pemikiran tokoh Islam (khususnya sufi dan thoriqot) dan bukan menjadi “tukang” yang mengintegrasikan berbagai teori-teori Psikologi Barat (Asing) dengan “mengaduk-aduk” dengan semen ayat-ayat atau hadits-hadits.
d. Kurangnya dialog intensif dan “high level” dalam tataran ilmiah, serta dukungan berbagai pihak yang masih berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan lembaga penterjemah buku-buku berbahasa asing (Inggris dan Arab) yang dapat mempercepat keterlibatan mahasiswa dan alumnus psikologi ke dalam kancah perdebatan. Keterlambatan dan kelambanan informasi ini menyebabkan sebagian dari kita-peminat psikologi islami hanya mengandalkan pada saduran-saduran naskah yang tercecer di berbagai buku.


Sehubungan dengan thema kita tentang psikologi islami menghadapi abad 21, maka tentu saja tidak bisa terlepas dari berbagai perdebatan, bahkan saya melihat bahwa pembahasan kita saat ini, aplikasi psikologi islami terlampau “lompat pagar” (atau terlalu cepat) diperbincangkan dari persoalan utama : teori-teori dasar psikologi, yang selama ini menjadi “dinamo”-nya Psikologi : Behavioristik, Ketidaksadaran (Psikoanalisis), Humanistik. Hingga kini belum dapat dikatakan selesai “bangunan teori” yang khas islami.

Sebagai sebuah gagasan yang dapat memicu untuk melahirkan runtutan tanggapan, maka memperluas muatan diskursus psikologi islami ini tentu dapat terus dilanjutkan. Setidaknya, lontaran ini menjadi tambahan pertimbangan atas aksiologis-pragmatis tentang perlunya psikologi islami dalam menghadapi tantangan perubahan masa depan.Tantangan dan Peluang Psikologi Islami

Sejak tahun 1980-an telah bermunculan berbagai prediksi abad 21. Beberapa tokoh futurolog seperti John Naisbit telah meramalkan berbagai perubahan dunia dan perilakunya. Pada saat yang bersamaan telah lahir orde baru di dunia filsafat: Post modernisme. Kita juga terhenyak dengan berbagai pembentukan organisasi regional dan global, seperti isue globalisasi semakin mengental dengan pencapaian teknologi informasi. Tidak ketinggalan kehadiran AFTA, NAFTA, WTO dengan isue pasar bebas dan pasar global. Dalam ketidaksiapan menghadapi pertarungan yang belum seimbang antara dunia Islam dengan Barat, diakhir penghujung 1996 juga telah lahir sebuah buku brilian dari seorang politikus dan juga Profesor di Harvard University, Amerika, Samuel P. Huntington dengan bukunya “The Crash of Civilization”. Huntington secara simplitis meramalkan bahwa peta peradaban dunia (seluruh aspek kehidupan) akan berubah menjadi tiga sekte besar : Islam, Kristen dan Konfusianisme. Islam mewakili masyarakat dan pikiran kaum muslimin (yang sebagian di negara ketiga dan dunia belahan Timur) dan Kristen mewakili (budaya dan masyarakat) dunia Barat dan Europa, serta Konfusianisme mewakili China, Jepang dan sejenis ajarannya.

Hipotesis Huntington ini cukup mendapat reaksi keras dari berbagai tokoh dunia, bahkan menuduhnya sebagai agen Yahudi yang mencoba menarik peta dunia agar terpecah menjadi tiga, bahkan sangat mungkin menjadi dua kekuatan besar, yaitu Islam versus Kristen, karena yang ketiga (Konfusian) turut berpihak dan bersepakat pada Islam. Nampaknya secara sederhana, hipotesis Huntington ini menggugat semangat universalisme dan persatuan dunia. Bahkan dianggap sebagai pemicu perselisihan di beberapa negara yang heterogenitas agamanya terkadang menghangat menjadi pertentangan dan peperangan.
Sementara itu F. uyama (1996) seorang pejabat kementrian luar negeri Amerika Serikat yang berkebangsaan Jepang, malah mengomentari tentang abad mendatang sebagai abad Kapitalisme dan Liberalisme, kedua isme tersebut dipandangnya sebagai puncak keunggulan manusia dalam peradaban. Hipotesisnya ini didasarkan pada keyakinan bahwa arah dari seluruh usaha manusia adalah kebebasan dan demokrasi.

Terlepas dari akan terbukti atau tidak hipotesis Huntington tersebut, kita sebagai Psikolog muslim patut urun-renungan, bagaimana jika hal ini benar terjadi ? Sebab pertarungan pasca perang dingin tidak lagi didominasi Demokrasi (Kapitalistik) dan Komunisme, atau Nato-Europa dan Pakta Warsawa (Uni Sovyet-al maut). Setelah runtuhnya Komunisme maka musuh terbesar Barat diramalkan adalah Islam.
John, L. Espasito (The Islamic Threat, Miyth or Reality, 1992), justru menanggapi perubahan di masa mendatang. Ia menyatakan bahwa yang akan berhasil dalam mengarungi jaman adalah mereka yang modern sekaligus juga memiliki keyakinan terhadap prinsip-prinsip. Kemampuan di bidang penguasaan ilmu dan teknologi harus juga disikapi dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang diyakini.Sebagai suatu ancang-ancang menghadapi dunia perubahan yang belum jelas arahnya, maka tidak salah jika kita juga mencermatinya, kita siap sebagai bangsa yang dapat berkompetisi global tanpa harus kehilangan prinsip-prinsip kita yang diyakini pasti benar, sebagai wujud iman kita pada Islam.
Secara tegas sesungguhnya Allah telah menetapkan adanya pertentangan antar ideologi dan msayarakat besar : Mu’minin Vs Kafirin, Musyrikin, Munafiqin. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa abad XV hijriyah adalah abad kebangkitan Islam yang ditandai oleh suatu gelombang besar dalam hal penguasaan sains dan teknologi yang diislamisasi. Jika kita mengaca kepada Psikologi maka bisa jadi akan terjadi saling tarik menarik dan saling pengaruh mempengaruhi untuk muncul mendominasi dunia ilmu pengetahuan di bidang psikologi : Psikologi Islami Vs Psikologi Barat (Non-Islami) dan di satu pihak Psikologi Timur (Taoisme-China). Bisakah semangat persaingan ini juga memicu kebangkitan Islam di bidang ilmu psikologi ? Benarkah psikologi berseberangan dengan agama (Islam) ? Untuk menjawab pertanyaan ini sesungguhnya tidak mudah, kesulitannya bersumber pada tolok ukur apa yang akan dipakai ?
a. Apakah psikologi ditinjau secara keseluruhan, tanpa memilah-milah ?
b. Apakah psikologi dipandang sebagai proses yang terus berlanjut ? c. Apakah Psikologi dipandang sebagai hasil akhir ?
Menjawab pertanyaan point a :Psikologi itu ibarat hutan yang begitu bersimpangan berbagai pendapat, mulai dari persoalan filsafati, paradigma, teori, metoda. Mulai dari diagnosa, analisa hingga terapi. Ribuan alat tes terus lahir ada yang direvisi, ada yang paforit digunakan, tidak terpakai, kurang peminat, rumit dan simple. Tentunya dengan melihat begitu banyaknya kajian yang berserakan di hutan Psikologi, alngkah tidak simpatiknya menggelari Psikologi sebagai ilmu tidak Islami. Psikologi adalah hutan ilmu yang terbuka untuk diambil dan dimasuki. Sehingga jika kita mau bahkan bisa menciptakan hutan Psikologi sendiri yang tidak ada hubungannya dengan hutan sebelumnya!
Upaya telaah yang dilakukan tentu harus memilah-milah ! dan untuk memilah-milah betapa beratnya. Waktu dan tenaga serta konsekuensinya hanya sebagai pengkritik dan tidak sempat membangun.
Sebagian besar dari psikologi Barat, memang memisahkan Tuhan dari pengalaman subyektif manusia. Pengalaman subyektif-religius ini masih dipandang sebagai bukan ilmiah. Kalau mau diilmiahkan harus memenuhi standar ilmiah : Logis-rasional-empiris.
Barangkali standar ilmiah itulah yang harus diperbaharui. Standar ilmiah yang sekarang ini digunakan karena “diyakini”. Jadi masalah menerima atau tidak standar ilmiah tersebut sangat ditentukan seberapa besar seseorang menerimanya dengan yakin.
Menjawab pertanyaan b :
Sebuah penemuan di dunia ini jarang yang bersifat akhir, karena dia bukanlah Wahyu yang sudah final dan essensial. Berbagai penemuan ilmiah sekalipun tidaklah pernah berakhir, bahkan bisa dikatakan selalu memulai. Prinsip *****ulative, dan corrective dari ilmu menyebabkan ia selalu terbuka dan bersedia diri berubah. Ilmu selalu berkelanjutan. Konsistensi pemikiran sebelumnya yang sudah diakui dapat dipergunakan, tetapi juga bisa jadi dibantah dan diperbaiki sama sekali apabila ada dasar yang lebih bisa diterima oleh masyarakat ilmiah.
Nabi Ibrahim AS, adalah sosok contoh seorang yang berproses untuk menemukan kebenaran (haqul Yaqin). Pada tahap permulaan Ibrahim menemukan kebenaran berdasarkan indrawi mata. Ia baru menyadari akan kelemahan objek yang dijadikan Tuhan setelah menemukan fakta baru yang tidak logis, ia kemudian menemukan kembali melalui proses pencarian, Ia berganti matahari yang lebih ajek dalam memberikan cahayanya, tetapi juga gagal hanya karena pada malam hari seolah lenyap dari pandangan. Ia menggunakan rasio-nalar “bagaimana mungkin Tuhan ada dan hilang ?” Akhirnya ia menemukan kebenaran itu melalui mata hatinya (intuisi-metaempiris). Akankah kita mengatakan bahwa Ibrahim adalah seorang yang kufur lalu jadi muslim ?

Peristiwa Ibrahim ini memberikan gambaran bahwa kita tidak perlu terlalu cemas atas “ketiadaan Tuhan” dalam beberapa teori psikologi, selama manusia masih terus memerlukannya. Sebab Kebenaran pasti Menang. Tinggal bagaimana Ia datang dan mengalahkan kebathilan ! Psikologi yang berpihak kepada kebenaran Islam pasti akan datang, hanya proses itulah yang sedang kita jalani.Melihat psikologi sebagai proses, maka tidaklah salah jika kita menggunakannya selama memperoleh manfaat. Artinya psikologi digunakan untuk sementara dalam membantu memecahkan persoalan kemanusiaan. Dari psikologi barat inilah barangkali lahir psikologi Islam. Kata dan istilah “Psikologi” sendiri tidak pernah ada dalam sejarah Islam salaf. Psikologi baru dipermasalahkan setelah kita mengenal beberapa kelemahannya dilihat dari prinsip Islam. Bahkan secara ekstrim menyebut “Psikologi jahiliyah modern”. Saya ingat perkataan Umar Ra. “Orang yang tidak mengenal jahiliah maka ia tidak akan mengenal Islam. Artinya kehadiran psikologi Barat telah cukup bagi psikolog muslim untuk juga mengenal psikologi Islami. Sebagai pembanding yang akan ditilik keunggulan dan kelemahannya, harus kita akui psikologi barat telah memberi andil yang besar bagi kelahiran psikologi Islami.
Menjawab pertanyaan c:
Kalau ada yang yakin bahwa mobil Timor S 515 adalah produk terakhir dari teknologi KIA Motor, jelas salah besar. Demikian juga yang mengatakan bahwa proses penciptaan langit ini berhenti dan sudah ajeg juga salah. Allah mengatakan senantiasa membinanya ). Seseorang yang dalam pencapaian pengetahuannya final hanyalah orang yang mati ! hakekat pengetahuan memang tidaklah berhenti. Demikian juga dengan psikologi, psikolog yang yakin bahwa hasil-hasilnya yang sekarang ini merupakan hasil akhir yang tidak berkembang dan kebenaran ilmunya dipandang berakhir, bolehlah ia digelari psikolog yang almarhum. Psikologi Islami sendiri sedang mencari bentuk, tentu saja kita harus hormat terhadap banguan psikologi yang ada.
Kebenaran Wahyu itulah yang ajeg karena ia prinsip hidup yang tidak bisa berubah. Penafsirannya yang belum tentu ajeg. saya yakin bahwa psikologi islami pun tidak ajeg karena ia adalah sebuah penafsiran terhadap manusia dan terhadap ayat-ayat Allah. Kebenaran suatu penafsiran itulah yang harus diakui sebagai relatif. Penafsiran yang manakah yang harus diakui? Allah menyatakan dalam Al Qur’an : Sesungguhnya, kewajiban Kamilah mengumpulkan (alQur’an) di hatimu (Muhammad) dan membuatmu pandai membaca )……Kamilah yang memberikan penjelasannya ). Jadi hanya Muhammad sajalah yang memahami betul isi kandungan Al Qur’an dan penafsirannya dan itu kita hanya mengetahui dari Hadits dan Sunnah serta para pewaris risalah Islam (para ulama). Jelas, bukan penafsiran tanpa konsistensi dengan penafsiran sebelumnya.
NISBAH : Psikologi dan Islam

Setiap ide baru akan selalu mengundang reaksi pro dan kontra. Tak terlepas dengan ide islamisasi psikologi dan musliminisasi psikolog. Apalagi ide tersebut menggugat sesuatu yang berkaitan dengan profesi (sebagai lahan hidup) serta nilai-nilai pribadi. Kecurigaan terhadap psikologi Barat yang telah mencabut manusia sebagai makhluk Tuhan dan kadang (psikoanalisa) menuduh aktivitas keagamaan adalah perbuatan kompensasi yang tidak ada dasar ketulusan mendasar sebagai seorang manusia, telah melahirkan sebutan-sebuatan yang agak sarkasme : “Psikologi ilmu sesat dan menyesatkan” atau “Psikologi ilmu skuler” sampai sebutan yang agak halus “ Psikologi ilmu perilaku yang tidak perlu dihubung-hubungkan dengan agama, agama ya agama, psikologi ya psikologi”. Lontaran pemikiran Malik B. Badri cukup membuat kepanasan kuping para psikolog yang sudah “terlalu yakin atas kebenaran dan kehandalan alat tes dan analisis psikologi”. Siapa yang mau dituduh tidak islami ?Siapa yang rela disebut psikolog anti agama ?
Dua pertanyaan itu tentu diajukan kepada psikolog muslim ! sedangkan bagi mereka yang tidak muslim tentu tidak merasa peduli dengan psikologi islami atau bukan. Mungkin mereka mengkhatirkan adanya psikologi Kristiani, psikologi Hindi, Psikologi Kejawen, Psikologi Yahudi!
Jadi masalahnya adalah seputar keyakinan psikolog muslim yang belum sepenuhnya puas dengan psikologi bila diukur berdasarkan norma-norma ajaran Islam !
Lantas dimana ke-universalannya bila psikologi dilabeli Islami?
Sebelum menjawabnya, saya balik bertanya “Apakah setiap teori psikologi seutuhnya universal?” Kenyataannya tidaklah ada teori yang bisa sepenuhnya dapat diterapkan untuk semua manusia. Teori Freud tidak dapat sepenuhnya universal sebab ia tidak bisa diterapkan pada orang yang muslim atau diterapkan pada orang yang tidak meyakini kehandalan psikoanalisisnya. Teori Maslow juga tidaklah universal karena dia tidak dapat menjelaskan motivasi lillahi ta’alanya seorang muslim, atau berbuat karena Yesus, Motivasi Maslow belum menyentuh aspek ruhaniah. Adalah wajar, jika banyak tokoh yang merasa tidak puas lalu memunculkan teori baru yang dipandang bisa universal, bahkan bukan saja universal melainkan juga “totalitas”, artinya bisa mencakup seluruh aspek manusia dan tidak memilah manusia dengan kategori (domain) yang masih tidak menggambarkan manusia seutuhnya.
Akhirnya, keuniversalan dan kemangkusan psikologi lebih disebabkan karena diyakini dan diterima oleh masyarakat ilmiah pada jamannya. Ketika ditemukan kekurang-mangkusan untuk menjelaskan manusia maka kepercayaan terhadap teori tersebut berkurang dan sebagai rasa hormat kepada penemunya dijadikan sebagai literatur atau referensi perkembangan ilmiah. Saya melihat bahwa bukanlah keburukan bila orang melahirkan karya, berupa teori tentang psikologi, sekalipun terbukti salah atau kurang sempurna, itulah hakekat manusia : ia selalu tidak mampu menggambarkan dirinya secara sempurna !
Dalam buku “ Man, The Unkonw” digambarkan betapa manusia sudah frustrasi mengetahui siapa dirinya. Padahal manusia sudah bermilyar banyaknya. Setiap orang pernah bertanya siapa dirinya. Ia pernah mengeluarkan pendapatnya sendiri, bahkan ada yang pendapatnya diyakininya hingga menemui kematian. Barangkali sesudah kematian itulah manusia tahu yang sesungguhnya siapa sebenarnya dirinya!
Emha Ainun Najib dalam satu essainya pernah menulis “ Berpuluh-puluh tahun manusia telah gagal mengenali siapa dirinya”. Sebaliknya saya menduga manusia akan selalu gagal mengenali dirinya.Manusia memiliki “Ruh” yang menjadi misteri sepanjang kemanusiaan. Ruh ini adalah rahasia tak terjawab. Penggambaran tentang ruh selalu berubah. Barangkali Ruh itu sesungguhnya akan dikenali dengan seutuhnya manakala kita mencapai kematian.
Allah berfirman : “ Mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Maka Jawablah Ruh itu urusanKu, Tidaklah pengetahuanmu tentangnya melainakn sedikit” ). Dari yang sedikit itupun tentu bukan dicari sendiri karena Allah sendiri yang mengajarkan tentang ruh. Dalam peristiwa keraguan Nabi Ibrahim As tentang adanya Allah. Allah mengajarkannya melalui peniupan roh ke dalam cincangan daging burung. Pelajaran peniupan Roh ini ternyata memperkuat iman yang sudah ada pada diri Ibrahim. Tidaklah salah jika psikologi Islami memasukkan unsur Ruh dalam kajiannya dengan maksud menemukan hakekat keberadaannya.
Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mempertanyakan siapa dirinya. Bahkan Allah sangat menghargai pertanyaan siapa manusia itu dan kenapa manusia itu diciptakan. Malaikat yang bernada protespun tidaklah dipandang hina, asal tidak bermaksud mengkufuri. Keraguan (meragukan) untuk semakin beriman adalah sah-sah saja. Rasulullah sendiri pernah mengalami keraguan tentang apa yang telah diturunkan kepadanya, kemudian ia diharuskan bertanya kepada Orang yang telah mengetahui Kebenaran (Waroqoh bin Naufal), sehingga barulah Allah menyruhnya agar jangan menjadi orang yang ragu. Proses dari keraguan menjadi iman adalah diijinkan dan dibenarkan.
Dan itu proses pencarian pengetahuan kebenaran. Jadi wajar pula bila seseorang yang mempelajari psikologi Barat kemudia meragukannya, untuk kemudia menjadi yakin setelah mengalami proses “bertanya” tentang kebenaran. Islam merupakan sumber Kebenaran, luas sekali membuka gerbang pengetahuan. Al Qur’an menantang kepada manusia untuk bisa menjelajahi langit dan dalamnya bumi. “Hai jin dan manusia, jika kamu mampu menembus langit dan bumi, lakukanlah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” . Kekuatan yang digambarkan tersebut tentu bukan saja kekuatan teknologi dan peralatan tetapi juga kekuatan manusianya. Untuk mengenal kekuatannya manusia juga perlu mengenal kelemahannya ketika berhadapan dengan alam raya yang akan dijelajahinya. “Dan akan kami perlihatkan ayat-ayat Kami dilangit dan di bumi serta pada dirimu sendiri.”
Banyak nian Al Qur’an mengungkap persoalan kemanusian dan diri manusia. Dan diyakini statement Al Qur’an dan Sunnah sebagai kebenaran. Dari sesuatu yang benar, kita dapat melahirkan proses yang benar, hasil yang benar serta manfaat yang benar pula. Dari cara pandang tentang Tuhan-alam-manusia yang benar, melahirkan pendekatan ilmiah yang benar, menurunkan bangunan teori yang benar, metode yang benar dan manfaat aplikasi yang benar. Sehingga ujungnya skesejahteraan manusia yang sesungguhnya lah yang menjadi tujuan akhir dari psikologi islami. Selamat dunia dan akhirat. “Dan dengan Kebenaran Kami menurunkan Al Qur’an dan dengan proses yang benar Kami turunkan Al Qur’an, Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai Pemnberi kabar gembira (reward kebaikan) dan pemberi peringatan (ancaman keburukan).


Sejarah Perkembangan Psikologi
1. Periode Pra berdirinya Psikologi
Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental.
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, psikologi melalui sebuah perjalanan panjang. Bahkan sebelum Wundt mendeklarasiikan laboratoriumnya tahun 1879 – yang dipandang sebagai kelahiran psikologi sebagai ilmu – pandangan tentang manusia dapat ditelusuri jauh ke masa Yunani kuno. Dapat dikatakan bahwa sejarah psikologi sejalan dengan perkembangan intelekstual di Eropa, dan mendapatkan bentuk pragmatisnya di benua Amerika.
Berdasarkan pandangan tersebut, bagian Sejarah Psikologi ini akan dibagi ke dalam beberapa periode dengan berbagai tokohnya..




________________________________________


________________________________________
2. Psikologi sebagai Ilmu yang Otonom

Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh Asosianisme.

Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis kurang suka pada teori Wundt yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara langsung dalam kenyataan. Mereka kemudian membentuk aliran sendiri yang disebut Fungsionalisme dengan tokoh-tokohnya antara lain: William James (1842-1910) dan James Mc Keen Cattel (1866-1944). Aliran ini lebih mengutamakan fungsi-fungsi jiwa dari pada mempelajari strukturnya. Ditemukannya teknik evaluasi psikologi (sekarang psikotest) oleh Cattel merupakan bukti betapa pragmatisnya orang-orang Amerika.
Meskipun sudah menekankan pragmatisme, namun aliran Fungsionalisme masih dianggap terlalu abstrak bagi segolongan sarjana Amerika. Mereka menghendaki agar Psikologi hanya mempelajari hal-hal yang benar-benar objektif saja. Mereka hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata (dapat dilihat dan diukur) sebagai objek Psikologi (Behaviorisme). Pelopornya adalah John Broades Watson (1878-1958) yang kemudian dikembangkan oleh Edward Chase Tolman (1886-1959) dan B.F. Skinner (1904).

Selain di Amerika, di Jerman sendiri ajaran Wundt mulai mendapat kritik dan koreksi-koreksi. Salah satunya dari Oswald Kulpe (1862-1915), salah seorang muridnya yang kurang puas dengan ajaran Wundt dan kemudian mendirikan alirannya sendiri di Wurzburg. Aliran Wurzburg menolak anggapan Wundt bahwa berpikir itu selalu berupa image (bayangan dalam alam pikiran). Kulpe berpendapat, pada tingkat berpikir yang lebih tinggi apa yang dipikirkan itu tidak lagi berupa image, tapi ada pikiran yang tak terbayangkan (imageless thought).

Di Eropa muncul juga reaksi terhadap Wundt dari aliran Gestalt. Aliran Gestalt menolak ajaran elementisme Wundt dan berpendapat bahwa gejala kejiwaan (khususnya persepsi, yang banyak diteliti aliran ini) haruslah dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh (suatu gestalt) yang tidak terpecah dalam bagian-bagian. Diantara tokohnya adalah Max Wertheimer (1880-1943), Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1887-1967) .Di Leipzig, pada tahun 1924 Krueger memperkenalkan istilah Ganzheit (berasal dari kata da Ganze yang berarti keseluruhan). Meskipun istilah Ganzheit masih dianggap sama dengan istilah Gestalt dan aliran ini sering tidak dianggap sebagai aliran tersendiri, namun menurut tokohnya, Krueger, Ganzheit tidak sama dengan Gestalt dan merupakan perkembangan dari psikologi Gestalt. Ia berpendapat bahwa psikologi Gestalt terlalu menitikberatkan kepada masalah persepsi objek, padahal yang terpenting adalah penghayatan secara menyeluruh terhadap ruang dan waktu, bukan persepsi saja atau totalitas objek-objek saja.

Perkembangan lebih lanjut dari psikologi Gestalt adalah munculnya “Teori Medan (Field Theory)” dari Kurt Lewin (1890-1947). Mulanya Lewin tertarik pada faham Gestalt, tetapi kemudian ia mengeritiknya karena dianggap tidak adekuat. Namun demikian, berkat Lerwin, sebagai perkembangan lebih lanjut di Amerika Serikat lahir aliran “Psikologi Kognitif” yang merupakan perpaduan antara aliran Behaviorisme yang tahun 1940-an sudah ada di Amerika dengan aliran Gestalt yang dibawa oleh Lewin. Aliran psikologi Kognitif sangat menitikberatkan proses-proses sentral (seperti sikap, ide, dan harapan) dalam mewujudkan tingkah laku. Secara khusus, hal-hal yang terjadi dalam alam kesadaran (kognisi) dipelajari oleh aliran ini sehingga besar pengaruhnya terutama dalam mempelajari hubungan antar manusia (Psikologi Sosial). Diantara tokohnya adalah F. Heider dan L. Fertinger.Akhirnya, lahirnya aliran Psikoanalisa yang besar pengaruhnya dalam perkembangan psikologi hingga sekarang, perlu mendapat perhatian khusus. Meskipun peranan beberapa dokter ahli jiwa (psikiater), seperti Jean Martin Charcot (1825-1893) dan Pierre Janet 1859-1947) tidak kurang pentingnya dalam menumbuhkan aliran ini, namun Sigmund Freud-lah (1856-1939) yang dianggap sebagai tokoh utama yang melahirkan Psikoanalisa. Karena Psikoanalisa tidak hanya berusaha menjelaskan segala sesuatu yang tampak dari luar saja, tetapi secara khusus berusaha menerangkan apa yang terjadi di dalam atau di bawah kesadaran manusia, maka Psikoanalisa dikenal juga sebagai “Psikologi Dalam (Depth Pshology)”.



3. Perkembangan Psikologi Modern
Sejarah Perkembangan Psikologi mengenai pendapat-pendapat para tokoh-tokoh sejarah ilmu jiwa yang mengungkapkan tentang ilmu kejiwaanya. Seperti yang telah diketahui dimana sejarah telah membawa kita kedalam masa yang modrn seperti pada saat ini. Terbentuknya perkembangan psikologi modern yang tidak terlepas dari pengaruh tokoh-tokoh aliran psikologi yang muncul mulai abad ke 20. Beberapa para ilmuan biologi dan fisika mempunyai minat untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu jiwa menurut prosedur ilmiyah modern. Bukti dari mempelajari ilmu jiwa maka muncul beberapa aliran yaitu Strukturalisme sebagai pemula yang mengangkat psikologi sebagai disiplin ilmu yang otonom, dengan didirikan laboratorium psikologi yang pertama dengan menggunakan prosedur penelitian. Dan terjadi pro dan kontra karena banyak pendapat yang munculan membentuk aliran-aliran psikologi lainya seperti:

-Fungsionalisme
-Behaviorisme
-Gestaltpsychology
-Psychoanalyticpsychology
-Humanisticpsychology
Keenam aliran tersebut yang memperkaya dan memperlengkap ilmu pengetahuan psikologi modern. Berikut ini akan diuraikan secara berturut-turut untuk mengetahui bagaimana konsep-konsep pandangannya.

a.Strukturalisme
Psikologi muncul dan berkembang mulai tahun 1879 yaitu setelah didirikan laboratorium psikologi yang pertama di Leipzig oleh Wilhem Wundt yang dikenal sebagai bapak pendiri psikologi. Dalam laboratorium ini Wundt mempelajari dan meneliti jiwa lebih langsung dari filosof-filosof dan meniru kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu pengetahuan lainnya. Dengan menggunakan metode introspeksi secara eksperimental mencoba melakukan penelitian yang dilakukan secara analisa elementer untuk menentukan pengalaman kesadaran dengan menganalisa ke dalam unsur-unsurnya. Terbentuknya aliran ini didasari pada pendapat bahwa psikologi sudah seharusnya mempelajari jiwa dari segi unsur-unsurnya dimana jiwa tersebut tersusun. Helmhotz yang telah melatih Wundt dalam penelitian psikologi secara eksperimen dari Inggris.
Selain Wundt tokoh strukturalisme adalah Titchener, yang telah membawa paham strukturalisme Wundt dan menyebarkan paham tersebut di Amerika Serikat. Paham dan pandangan psikologi Wundt jug dikembangkan oleh murid-muridnya seperti Mc. Keen Cattel, Hugo Munsterberg dan psikiater Kraeplin seperti yang telah diuraikan dalam sejarah.
b. Fungsionalisme

Seorang tokoh psikologi Amerika dan pelopor aliran fungsionalisme yaitu Wiliam James (1842-1910), telah beranggapan bahwa pendapat Wundt dan pendapatnya telah keliru dan sesat apabila mengambil sasaran penelitian / percobaan psikologinya untuk menemukan struktur dari pada pengalaman kesadaran manusia. James berpendapat pengalaman kesadaran itu hakekatnya adalah suatu peristiwa atau proses bukan diuraikan unsur-unsurnya. Aliran ini juga merumuskan jiwa adalah pemelihara kelangsungan hidup sesorang dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Aliran fungsionalisme memandangnya secara dinamis yaitu sebagai proses mental yang terjadi dalam suatu aktivitas psikologi tujuan dan fungsi. Tokoh-tokoh yaitu John Dewey (1859-1952), James Mc Kenn Cattel (1866-1944), E.L. Trondike (1874-1949), dan R.S.Woodworth (1969-1962).



c. Behaviorisme

Perkembangan aliran behaviorisme termasuk gerakan/alairan psikologi yang kuat dan berpengaruh. Tokoh pendirinya adalah John B. Waston (1878-1958). Aliran ini menghimbau agar psikologi tidak memusatkan perhatiannya untuk mempelajari gejala-gejala kesadaran atau dibawah sadar, tetapi sesuai dengan tugasnya psikologi harus berupaya meramalkan apa yang sebenarnya yang mennjadi sasaran / tujuan tingkah laku dan berusaha bagaimana agar orang dapat mengendalikan tingkah laku tersebut, tepatnya ilmu pasti. Tokoh psikologi B. F. Skinner menyatakan “lingkungan merupakan kunci penyebab terjadinya tingkah laku.” Untuk dapat memahami tingkah laku manusia kita harus perhatikan lingkungan individu terhadap individu sebelum dan sesudah ia memberikan respon.

d. Gestalt Psychology

Aliran ini merupakan suatu protes terhadap pandangan strukturalisme. Pemikiran tentang gestalt ini ditemukan oleh MaX Werthiemer (1880-1943) seorang psikolog Jerman. Gestalt berarti bentuk, pola keseluruhan, dasarnya adalah unit (kesatuan) sedangkan alatnya yang dijadikan dasar adalah persepsi (pengamatan/ penalaran). Para psikologi ini kebanyakan perhatian/studinya ditujukan kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan proses pengamatan. Pemuka yang lain adalah Kurt Koffka (1886-1941), Wolfgang Kohler (1886-1967).




e. Psychanalytic psychology

Aliran ini muncul pada tahun 1900 dan aliran ini muncul pandangan psikologi yang dikembangkan melalui dasar-dasar tinjauan klinis-psikiatris oleh aliran psikoanalisa yang dipelopori oleh Sigmund Freud seorang Psikiater Australia. Pengobatan dilakukan melalui kejadian-kejadian yang dialami pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, disinilah teori kepribadian dan suatu pendekatan psikoterapi dikarenakan mental manusia itu berbeda.

f. Humanistic Psychology

Aliran humanisme sebagai bantahan dan kurangnya aliran behaviorisme dan psikoanalisa. Aliran humanisme ini pada dasarnya mengakui bahwa pengalaman dan masa lalu itu mempengaruhi kepribadian, tetapi harus diakui pentingnya kedudukan “free will” yaitu dasar kemauan bebas manusia untuk membuat keputusan bagi dirinya untuk menentukan dirinya sendiri. Aliran ini tidak menggunakan eksperimen dilaboratorium seperti penelitian dengan mengawasi tingkah laku dan perkembangan pada binatang akan tetapi humanisme lebih menekankan pentingnya peran factor suyektif seperti : gambaran dari seseorang, penilaian diri dan kerangka sasaran atau cita-cita ideal.
Ke enam aliran yang telah diuraikan diatas menjadi konsep yang selalu digunakan para psikologi sampai saat ini untuk meneliti/mengamati jiwa manusia. Para psikologi saat ini tidak menganut aliran karena mereka mengembangkan dan mengguanakan teori psikologi yang lebih objektif dari aliran tersebut, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan satu sama lian.



4. Fungsi Psikologi
Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu:
• Menjelaskan, yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasilnya penjelasan berupa deskripsi atau bahasan yang bersifat deskriptif
• Memprediksikan, Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasil prediksi berupa prognosa, prediksi atau estimasi
• Pengendalian, Yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Perwujudannya berupa tindakan yang sifatnya preventif atau pencegahan, intervensi atau treatment serta rehabilitasi atau perawatan.
Psikologi sangat sangat berperan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga psikologi mampunyai banyak fungsi mempelajari psikologi, diantaranya:
-untuk memperoleh pengetahuan tentang perilaku, kodrat, tabiat atau pribadi manusia sehingga berbagai masalah sosial akan dapat dipecahkan dengan berbekal ilmu psikologi tersebut.
-dengan psikologi kita dapat lebih mengenal siapakah aku dan orang lain sehingga kita dapat bergaul dan menyesuailkan diri dengan orang lain.
-psikologi sangat dibutuhkan oleh mereka yang dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan orang lain.
-dengan mempelajari psikologi, berarti ada usaha untuk mengenal da memahami manusia sehingga kita dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku dan kepribadian manusia beserta aspek-aspeknya.