twitter


BAB I
PEMBAHASAN


I. Arti dan Makna Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata Yunani , yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat, kratos berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi artinya pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan.
Di dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English(Hornby, dkk: 261) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah, “(1)country with principles of government in which all adult citizent share their ellected representatives; (2) country with government which encourages and llows right of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the ssertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities; (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equal.”
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat di mana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih. Pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas, dan masyarakat ynag warga negaranya saling memberi peluang yang sama.
Istilah demokrasi pertama kali dipakai di Yunani kuno, khususnya di kota Athena, untuk menunjukkan sistem pemerintahan yang beraku di sana. Kota-kota di daerah Yunani pada waktu itu kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah. Dalam rapat itu diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar kebijaksanaan pemerintah yang akan dilaksanakan dan segala permasalahan mengenai kenmsyarakatan.
Karena rakyat ikut serta secara langsung, pemerintah itu disebut pemerintahahn demokrasi langsung. Pemerintahan demokrasi langsung di Indonesia dapat kita lihat di dalam pemerintahan desa. Kepala desa atau lurah dipilih langsung oleh rakyat desa itu sendiri. Pemilihan kepala desa itu dilakukan secara sederhana sekali. Para calon menggunakan tanda gambar hasil pertanian, seperti padi atau pisang. Rakyat memberikan suara kepada calon masing-masing yang dipilih dengan memasukkan lidi ke dalam tabung bambu milik calon yang dipilihnya. Calon yang memiliki lidi terbanyaklah yang terpilih menjadi kepala desa. Di samping memilih kepala desa, pada hari-hari tertentu warga desa dikumpulkan oleh kepala desa di balai desa untuk membicarakan masalah yang menyangkut kepentingan bersama. Peristiwa semacam ini dikenal dengan nama musyawarah desa.
Dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan penduduknya pun terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi diterapkan karena:
a. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya besar tidak mungkin disediakan.
b. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak mungkin dilaksanakan.
c. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai karena sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir.
Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan demokrasi langsung juga mengalami kesukaran. Untuk memudahkan pelaksanaannya setiap penduduk dalam jumlah tertentu memilih wakilnya untuk duduk dalam suatu badan perwakilan. Wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan perwakilan inilah yang kemudian menjalankan demokrasi. Rakyat tetap merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.
Bagi negara-negara modern demokrasi tidak langsung dilaksanakan karena hal-hal berikut:
a. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada suatu tempat tidak mungkin dilakukan.
b. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang tradisional.
c. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam mendosens kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup diserahkan kepada yang berminat dan mempunyai keahlian di bidang pemerintahan negara.
Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah zaman Yunani kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem pemerintahan yang absolut (monarki mutlak), yang menguasai pemerintahan di dunia Barat sebelumnya.
Di dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang baru ini mempunyai arti yang luas sebagai berikut:
a. Mula-mula demokrasi berarti politik yang mencakup pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia, seperti hak kemerdekaan pers, hak berapat, serta hak memilih dan dipilih untuk badan-badan perwakilan.
b. Kemudian, digunakan istilah demokrasi dalam arti luas, yang selain meliputi sistem politik, juga mencakup sistem ekonomi dan sistem sosial.
Dengan demikian, demokrasi dalam arti luas, selain mencakup pengertian demokrasi pemerintahan, juga meliputi demokrasi ekonomi dan sosial. Namun pengertian demokrasi yang paling banyak dibahas dari dahulu sampai sekarang ialah demokrasi pemerintahan.
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu dan yang lain. Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas pokok sebagai berikut.
a. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan. Misalnya, pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia.
b. Pengakuan hakikat dan martabat manusia. Misalnya, tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, USIS (1995:6) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki sebelas pilar atau soko guru, yakni “Kedaulatan Rakyat, Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, Kekuasaan mayoritas, Hak-hak minoritas, Jaminan Hak Asasi Manusia, Pemilihan yang bebas dan jujur, Persamaan di depan hukum, Proses hukum yang wajar, Pembatasan pemerintahan secara konstitusional, Pluralisme Sosial, Ekonomi dan Politik, dan Nilai-nilai toleransi, Pragmatisme, Kerjasama dan mufakat.


II. Sejarah Demokasi
1. Demokrasi Masa Orde Lama (1959-1965)
Demokrasi parlementer menonjolkan perana parlemen serta partai politik. Demokrasi ini berlangsung di dalam negara menggunakan UUD 1945 dan UUD sementara 1950, pelaksanaan demokrasi ditandai dengan pemerintahan yang kurang stabil.demokrasi terpimpin yang menggantikan demokrasi parlementer di dalam banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menonjolkan aspek demokrasi rakyat serta dominasi presiden. Ketetapan MPRS NO. III/1963 yang mengangkat Presiden Soekarno seumur hidup semakin memberi peluang melakukan penyimpangan dan penumpukan kekuasaan di tangannya, namun sekaligus menjadi incaran kesempatan pihak komunis mempengaruhi kekuasaan Presiden.
Pemilu tahun 1955 dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi harapan masyarakat, bahkan kurangnya kestabilan dalam bidang pollitik, ekonomi, sosial maupun Hankam. Atas dasar tersebut maka Presiden menyatakan bahwa mengakibatkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamatan negara, maka Presiden mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959. Isi Dekrit tersebut adalah sebagai berikut:


i. Membubarakan Konstituante
ii. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUD 1950
iii. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesinfkat-singkatnya
Namun pelaksanaan demokrasi terpimpin itu dalam menyimak dari arti yang sebenarnya justru bertentangan dengan Pancasila. Yang berlaku adalah keinginan dan ambisi politik pemimpin sendiri. Kebijaksanaan yang menyimpang dari UUD 1945 dalam bidang politik adalah:
a) Pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 melalui Penetapan Presiden No.4 tahun 1960 dengan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
b) Membentuk MPRS yang anggotanya diangkat dan diberhantikan oleh Presiden.
c) Membentuk DPA dan MA dengan penetapan Presiden dan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
d) Lembaga-lembaga negara, seperti yang disebutkan di atas dipimpin sendiri oleh Presiden.
e) Mengangkat Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. II/MPRS/1963 tan Tap. MPR No. III/MPRS/1963.
f) Melalui ketetapan MPRS No.I/MPRS/1963 Manifesto politik dari Presiden dijadikan GBHN.
g) Hak budget tidak berjalan karena pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Karena DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diajukan Presiden, maka DPR dibubarkan tahun 1960.
h) Menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA, MA. MPRS dan DPR-GR seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang tugasnya mengawasi jalannya pemerintahan, malah sebaliknya harus tunduk kepada kebijaksanaan Presiden.
Ideologi pancasila pada saat itu dirancang oleh PKI dengan menggantinya ideologi Manipol Usdek serta konsep Nasakom. PKI sedang berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dengan membangun komunis internasional dengan RRC. Terbukti dibukanyahubungan poros Jakarta-Peking. Sebagai puncak peristiwa adalah meletuskan Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), usahanya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Marxis.
Kenyataannya dalam ketatanegaraan Indonesia Demokrasi Parlementer yang disebut Bung Karno sebagai demokrasi barat yang bersifat liberal itu juh lebih demokratis daripada demokrasi terpimpin yang dianggap “asli” dan sesuai dengan “kepribadian Indonesia”. Dengan demikian dapat disimpulkkan bahwa konsep demokrasi justru bernilai dan cita-cita masyarakat beradab karena ia bersifat universal, tidak dibatasi oleh nilai-nilai yang bersifat lokal, yaitu nilai Barat atau nilai “asli” suatu bangsa.

2. Demokrasi Pancasila Orde Baru (1965-1998)
Orde baru mengambil tugas baru sebagai pencipta ketertiban politik dan kemantapan ekonomi. Orde baru bertolak belakang dengan orde lama dalam hal kebijakan ekonomi. Akan tetapi dalam hal sistem dan kebijakan politik cenderung otoriter dan monopolistik sebagai pelanjut dari rezim orde lama. Konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah yang memungkinkan oposisi tidak dapat melakukan kontrol. Pemerintah menganut kebijakan ekonomi campuran sehingga ekonomi nasional meningkat rata-rata 7 persen dari tahun 1969-1980an, tetapi kemudian membuka praktek monopoli, korupsi dan kolusi yang berskala massif antara penguasa dengan pengusaha. Penyimpangan serta skandal raksasa di bidang ekonomi, seperti kasus Bank Duta, Bapindo, dll. Menurut Didik Rachbini pada tahun 1993 sekitar 1 persen penduduk memperoleh 80 persen pendapatan nasional sedangkan 99 persen penduduk di tingkat bawah dan menengah menerima 20 persen.1
Sidang umum MPR tahun 1973 menetapkan Tap. MPR No. II/MPR/1973 tentang GBHN dalam bab III menetapkan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang 25-30 tahun. Dalam konsiderannya disebutkan Pembangunan Berkesinambungan.
Sidang umum MPR tahun 1978 menetapkan Tap. MPR No. IV/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4). Pemerintah orde baru mendirikan lembaga BP-7 yang ditugasi mensosialisasikan P-4 kepada seluruh masyarakat dengan medota indotrinasi dengan sebutan metoda objektif praktis. Pada tahun 1980 melalui rekayasa lahirlah kebulatan tekad rakyat Indonesia yang mengangkat Presiden Suharto sebagai Bapak Pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan sebagai ideologi menggunakan Trilogi Pembangunan sebagai nilai instrumentalnya.
Tahun 1983 pemerintah mengajukan satu paket yang terdiri dari 5 Undang-Undang Politik tentang:
1. Susunan dan Kedudukan anggota MPR/DPR
2. Pemilihan Umum
3. Kepartaian dan Golkar
4. Organisasi Masyarakat
5. Referendum
Kelima paket Undng-Undang itu disetujui oleh DPR dengan tujuannya menjaga terpeliharanya kekuasaan dan menjaga kelanjutan pembangunan. Perubahan kondisi yang mengglobal mempengaruhi sikap masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menimbulkan sifat individualistik sehingga tebentuk masyarakat marginal dan konglomerasi yang terpusat pada kelompok tertentu yang berdasarkan ekonomi kapitalis dengan dalih kebebasan.
a) Pada kenyataannya Orde Baru telah jauh menyimpang dengan perjuangannya semula, yaitu:
b) Orde baru di bawah pimpinan Suharto secara ekslisit tidak mengakui 1 Juni sebagai lahirnya Pancasila.
c) Butir-butir P-4 mendidik secara halus ketaatan individu kepada kekuasaan dan tidak ada butir yang mencantumkan kewajiban Negara terhadap rakyatnya.
d) Pengamalan Pancasila dengan membentuk citra pembangunan sebagai ideologi, sehingga rekayasa mendukung Bapak Pembangunan melalui kebulatan tekad rakyat.

1. Mochtar Pabotinggi. 1995:28-29

Jenis-jenis Demokrasi

a. Demokrasi berdasarkan cara menyampaikan pendapat terbagi ke dalam:
1) Demokrasi langsung, dalam demokrasi langsung rakyat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan.
2) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi ini dijalankan oleh rakyat melalui wakil rakyat yang dipilihnya melalui Pemilu. Rakyat memilih wakilnya untuk membuat keputusan politik Aspirasi rakyat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
3) Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat.
Demokrasi ini merupakan campuran antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Rakyat memilih wakilnya untuk duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat, tetapi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya diawasi rakyat melalui referendum dan inisiatif rakyat. Demokrasi ini antara lain dijalankan di Swiss. Referendum adalah pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung.
Referendum dibagi menjadi tiga macam:
(a) Referendum wajib
Referendum ini dilakukan ketika ada perubahan atau pembentukkan norma penting dan mendasar dalam UUD (Konstitusi) atau UU yang sangat politis. UUD atau UU tersebut yang telah dibuat oleh lembaga perwakilan rakyat dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan rakyat melalui pemungutan suara terbanyak. Jadi referendum ini dilaksanakan untuk meminta persetujuan rakyat terhadap hal yang dianggap sangat penting atau mendasar.
(b) Referendum tidak wajib
Referendum ini dilaksanakan jika dalam waktu tertentu setelah rancangan undang-undang diumumkan, sejumlah rakyat mengusulkan diadakan referendum. Jika dalam waktu tertentu tidak ada permintaan dari rakyat, Rancangan Undang-Undang itu dapat menjadi undang-undang yang bersifat tetap.
(c) Referendum konsultatif
Referendum ini hanya sebatas meminta persetujuan saja, karena rakyat tidak mengerti permasalahannya, pemerintah meminta pertimbangan

b. Demokrasi berdasarkan titik perhatian atau prioritasnya terdiri dari:
1) Demokrasi formal
Demokrasi ini secara hukum menempatkan semua orang dalam kedudukan yang sama dalam bidang politik, tanpa mengurangi kesenjangan ekonomi. Individu diberi kebebasan yang luas, sehingga demokrasi ini disebut juga demokrasi liberal.
2) Demokrasi Material
Demokrasi material memandang manusia mempunyai kesamaan dalam bidang sosial-ekonomi, sehingga persamaan bidang politik tidak menjadi prioritas. Demokrasi semacam ini dikembangkan di negara sosialis-komunis.
3) Demokrasi Campuran
Demokrasi ini merupakan campuran dari kedua demokrasi tersebut di atas. Demokrasi ini berupaya menciptakan kesejahteraan seluruh rakyat dengan menempatkan persamaan derajat dan hak setiap orang.

c. Berdasarkan prinsip ideologi, demokrasi dibagi dalam:
1) Demokrasi liberal
Demokrasi ini memberikan kebebasan yang luas pada individu. Campur tangan pemerintah diminimalkan bahkan ditolak. Tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap warganya dihindari. Pemerintah bertindak atas dasar konstitusi (hukum warga).
2) Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar
Demokrasi ini bertujuan menyajahterakan rakyat. Negara yang dibentuk tidak mengenal perbedaan kelas. Semua warga negara mempunyai persamaan dalam hukum, politik.

d. Berdasarkan wewenang dan hubungan antar alat kelengkapan negara
1) Demokrasi sistem parlementar
Ciri-ciri pemerintahan parlementer, antara lain;
(a) DPR lebih kuat dari pemerintah
(b) Menteri bertangung jawab pada DPR
(c) Program kebijaksanaan kabinet disesuaikan dengan tujuan politik anggota parlemen
(d) Kedudukan kepala negara sebagai simbol tidak dapat diganggu gugat
2) Demokrasi sistem pemisah/pembagian kekuasaan (presidensial)
Ciri-ciri pemerintahan yang menggunakan sistem presidensial adalah sebagai berikut
(a) Negara dikepalai presiden
(b) Kekuasaan eksekutif presiden dijalankan berdasarkan kedaulatan yang dipilih dari dan oleh rakyat melalui badan perwakilan
(c) Presiden mempunyai kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri
(d) Menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR melainkan kepada Presiden
(e) Presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sama sebagai lembaga negara, dan tidak dapat saling membubarkan

Nilai-nilai Demokrasi
Sebenarnya, pengertian pokok demokrasi ialah adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan partisipasi rakyat. Akan tetapi, dalam pertumbuhannya, pengertian pokok itu telah mengalami banyak perubahan, terutama karena faktor politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Suatu negara dapat memberikan isi dan sifat kepada demokrasi yang berbeda dari isi dan sifat demokrasi di negara lain. Dengan demikian, bentuk demokrasi negara yang satu akan berbeda dengan bentuk demokrasi negara yang lain dan bentuk demokrasi itu pada suatu masa akan berbeda dari bentuk demokrasi pada satu masa yang lain. Misalnya, bentuk demokrasi pada masa sekarang berbeda dari bentuk demokrasi pada masa UUD RIS tahun 1949 dan masa UUD sementara tahun 1950.
Yang paling utama dalam menentukan berlakunya sistem demokrasi di suatu negara ialah ada atau tidaknya asas-asas demokrasi pada sistem itu, yaitu:
a. Pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap martabat manusia dengan tidak melupakan kepentingan umum.
b. Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Jika dukungan rakyat tidak ada, sulitlah dikatakan bahwa pemerintah itu adalah suatu pemerintahan demokrasi.
Di dunia barat, demokrasi berkembang di dalam suatu sistem masyarakat yang liberal (bebas, merdeka). Oleh karena itu, lahirlah suatu bentuk demokrasi yang dinamakan demokrasi liberal, yang menjunjung hak-hak asasi manusia setinggi-tingginya, bahkan kadang-kadang di atas kepentingan umum. Sebagai akibat demokrasi liberal ini, lahirlah sistem-sistem pemerintahan yang liberal. Di dalam sistem pemerintahan ini, peranan dan campur tangan pemerintah tidak terlalu banyak di dalam kehidupan masyarakat. Karena sistem ini sesuai dengan aspirasi rakyat di dunia barat, sistem pemerintahan yang liberal ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

Prinsip-Prinsip Demokrasi
Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi." Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:
1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.


III. Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi.
Ia menilai, keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yang tidak banyak disadari itu, membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.

Ciri-Ciri Pemerintahan Yang Demokrasi
Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatananyang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut.
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Beberapa kriteria yang harus dimiliki dalam suatu negara yang benar-benar menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, yaitu:
1. Partisipasi rakyat
2. Persamaan di depan hukum
3. Distribusi pendapatan secara adil
4. Kesempatan pendidikan yang sama
5. Ketersediaan dan keterbukaan informasi
6. Mengindahkan tata krama politik, dan lain-lain.
Sejak awal Indonesia menyatakan dirinya demokrasi yang dapat terlihat dalam konstitusi negara, namun dalam perjalanan kenegaraan kita melihat perkembangan demokrasi sebagai berikut:


IV. Perkembangan Civil Society dalam Demokrasi
1. Sejarah dan Pengertian Civil Society
Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari sebuah proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai cicero dan bahkan, menurut Manfret Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa abad 18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Barulah pada paruh abad ke 18, terminologi ini mengalami pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan sturktur politik di Eropa sebagai akibat pencerahan dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut. Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan perangkat hukum dan administrasi.
Disamping itu, civil society menurut para tokoh juga bebeda-beda, seperti Hegel yang berpendapat entitas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri (a self crippling entity), oleh karena itu harus diawasi oleh negara. Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini, akhirnya memiliki gayut dengan pandangan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan dengan produksi kapitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tantangan baginya untuk membebaskan masyarakat dari berbagai penindasan, oleh karena itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bukan pada basic material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditempatkan sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuatan negara. Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Gramsci ini dikembangkan oleh Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.
Civil society atau Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyality) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Sebagai sebuah konsep, Civil society, datang dari Barat. Proses demokratisasi yang lebih dulu berlangsung di Barat telah menjadikan civil society bagian penting dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan mereka. Terutama dalam meretas peradaban yang dibangunnya. Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan memberikan peran — lewat pola bottom-up — yang lebih kuat pada masyarakat. Seiring dengan hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini terus berlanjut dan menguat di berbagai belahan bumi lainnya.
Civil society, atau yang juga dikenal dalam implementasinya tidaklah berjalan sewarna. Perbedaan tafsir atas pemberdayaan peran masyarakat kemudian melahirkan varian-varian pemahaman terhadap makna civil society dengan ragam kategorisasi yang dipengaruhi oleh dinamika dan kultur setempat, sehingga hari ini kita mengenal pemahaman tentang pengertian civil society versi “klasik” – “modern”, versi “barat” – “timur”, atau bahkan yang mengistilahkannya dengan versi “sekuler“- “agamis”, dan “liberal”- “neo liberal”.Selain dinamika dan kultur setempat, pengaruh eksternal juga telah member warna bagi eksisnya peran masyarakat sipil. Semua ini telah melahirkan berbagai varian dalam memahami konsep civil society. Perbedaan ini, sebenarnya wajar adanya.

2. Civil Society dalam Idealita
Pada dasarnya tujuan dari civil society akan mengkrucut pada “upaya pemberdayaan (empowerment) sekaligus revitalisasi (enrichment) kemerdekaan masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap negara secara sukarela, mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, urusan civil society tidak dapat dilepaskan dari faktor historis, kearifan budaya, serta tingkat “penetrasi” penguasa politik Negarake masyarakat. Faktor-faktor ini, telah menyebabkan terjadi “pasang-surut”nya gerakan civil society di Indonesia.
Tocqueville mengemukakan, bahwa civil society sebagai area kehidupan sosial yang terorganisasi, selalu bercirikan sifat kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan (self-supporting). Dengan begitu, maka civil society penerapannya tidaklah berlangsung dalam “ruang hampa”, sehingga ia menjadi leluasa berinteraksi dengan nilai-nilai budaya, ideologi dan agama yang dianut masyarakat. Sebagaimana juga di Barat, civil society di Indonesia mengalami dialektika dalam perkembangan sejarahnya. Secara teoritis, paling tidak ada tiga model konsep civil society yang berbeda dalam tataran praksis, yakni; top-down of civil society, bottom-up of civil society, dan pararelism of civil society. Hemat penulis, alam budaya masyarakat Indonesia lebih (cocok) menganut kepada konsep pararelism of civil society.
Konsep pararelisme, dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa antara posisi “negara” di satu pihak, dengan warga-kelompok masyarakat di sisi lain, tidaklah berada dalam posisi yang saling berhadapan, melainkan dalam posisi kemitraan-kesejajaran dalam membangun dan mengimplementasikan kesepakatan (contract). Dalam pemahaman ini, kita bisa meletakkan di mana posisi gotong-royong dalam kehidupan sosial, atau di mana posisi sekolah swasta/pesantren, rumah sakit maupun tempat ibadah yang didirikan atas swadaya masyarakat, atau bagaimana pula sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) memperoleh tempat di masyarakat. Semua itu menunjukkan bahwa aksi politik maupun sosial dalam praktisnya tidak berada dalam dominasi negara, melainkan secara swadaya dan mandiri, juga turut dilakukan oleh setiap warga. Konsep gotong royong adalah bukti bahwa civil society di Indonesia menganut paham kesejajaran (pararelism), bukan top-down sebagaimana yang dianut di negara totaliter-sosialis komunis, atau konsep bottom-up di negara yang berpaham individualisme, liberalisme dan kapitalisme.
Civil society tumbuh dan berkembang di Indonesia semenjak masa pergerakan nasional di awal abad ke-20. Pada masa itu kolonial Belanda mendorong pembentukan kesadaran sosial atau penguatan masyarakat sipil dengan membentuk berbagai organisasi dan perkumpulan yang bersifat modern. Wujud ini dikenal sebagai civil society dengan aspirasi lebih kuat pada organisasi keagamaan dan kebudayaan yang spiritnya “membangun masyarakat” bukan membangun negara.
Civil society mengalami penguatan pada pascarevolusi kemerdekaan di tahun 1950-an. Ketika itu pemerintah memberi kebebasan yang luas kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendirikan organisasi sosial maupun organisasi politik, seiring dengan komitmen kuat untuk memperaktekan sistem demokrasi (parlementer). Konstelasi ini menciptakan relasi antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan pemerintah dalam posisi masyarakat sipil menjadi penyeimbang untuk melakukan fungsi kontrol terhadap kekuatan negara.
Dalam konteks ini, negara secara tidak langsung ikut membentuk civil society melalui pembangunan, khususnya di masa Orde Baru. Di lain pihak, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan mengalami revitalisasi. Contoh konkret; keberadaan Muhammadiyah, NU, tumbuhnya pesantren-pesantren, Taman Siswa serta lahirnya LSM-LSM sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kekuatan yang memberdayakan masyarakat marjinal selain adanya pengintegrasian agama ke dalam Negara.
Orde Baru, di balik keberhasilan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan prasarana infrastruktur di era 1980-an hingga tahun 1995-an, warga merasa telah mengalami penetrasi negara yang demikian kuat di segala sector. Penetrasi negara itu dilakukan dengan menggunakan berbagai jaringan dan instrumen pemerintahan, baik melalui bidang sosial, politik juga ekonomi. Terutama melalui birokrasi dan aparat keamanan, ini telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang kebebasan yang sebelumnya pernah dimiliki masyarakat Indonesia . “Kelas menengah” yang diharapkan semakin mandiri sebagai pengimbang kekuatan negara sebagaimana yang tumbuh di negara-negara Barat dan negara maju, dalam kenyataannya melalui mengalami “ketergantungan yang sangat tinggi terhadap negara. Kelompok intelektual, terdidik dan kalangan menengah telah membentuk kemajuan yang disebut sebagai “kapitalis semu” (erzat capitalism).

3. Peran Civil Society dalam Demokrasi
Di dalam upaya untuk mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara. Dan rasanya sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan sistem demokrasi. Seperti Indonesia misalnya, di Negara kita ini memiliki pluralitas yang cukup tinggi sehingga seperti yang kita lihat saat ini, untuk menerapkan Demokrasi rupanya masih kesulitan. Demokrasi ternyata tak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jurdil-jujur dan adil-atau terjungkalnya sebuah pemerintahan otoriter. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan sistem politik yang memungkinkan checks and balances di antara lembaga-lembaga negara.
Di sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kedua aspek itu belum muncul. Selain kepemimpinan politik bangsa ini sangat lemah, masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi, yang menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa dan membuat organisasi tandingan.
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memosisikan dirinya sebagai penyeimbang negara. Alhasil, persoalan mendesak yang dihadapi bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius, etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan".
Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di masa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dalam meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utama kita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. perluasan dan pendalaman demokrasi akan tercapai bukan semata-mata karena niat tulus belaka, namun lebih dari itu harus ada kepemimpinan politik yang memiliki visi kerakyatan, reformis, dan berani dalam melakukan perubahan. Jika kepemimpinan yang diharapkan tidak terwujud, maka gerakan sosial civil society dapat menjadi kekuatan oposisi yang menekan penguasa untuk mempercepat agenda perubahan sebagai upaya terjadinya konsolidasi demokrasi yang kuat.
Perspektif Global
I. Pengaruh Positif dan Negatif Globalisasi
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.
 Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
 Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

II. Perspektif Demokrasi
Demokrasi masih menjadi sebuah agenda penting pembicaraan di seluruh dunia. Manusia dari berbagai bangsa atau negara, dengan berbagai latar belakang agama, peradaban, dan sejarah, umumnya mengakui demokrasi sebagai sesuatu yang harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi diagungkan banyak orang terutama dalam bidang politik (walaupun saat ini nilai demokrasi mulai dikembangkan di bidang-bidang lain, termasuk dalam masalah agama). Sistem politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap sistem politik yang kuno, tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan mustahil bisa membawa kemajuan di zaman ini. Demokrasi telah dianggap sebagi sebuah norma global dunia di era globalisasi ini, sampai-sampai Saiful Mujani1 (seorang peneliti pada Pusat Kajian Masyarakat Islam) mengatakan bahwa hampir tidak mungkin menolak demokrasi di zaman sekarang ini. Demokrasi sudah menjadi semangat dan anak zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan menolak zaman.

III. Perspektif Demokrasi Versus Perspektif Otoritarianisme2
Orang mungkin menggunakan kata yang sama : "demokrasi". Tapi agaknya orang memang tidak bisa memiliki pengertian yang satu tentang kata itu. Zaim Saidi3 mengatakan bahwa sampai pada arti demokrasi yang kurang lebih adalah kedaulatan ( di tangan) rakyat, semua orang sepakat.Sampai pada slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak ada pihak yang tidak sepakat. Cara pandang seseorang mengenai masyarakatlah yang membuatnya memiliki tafsiran tersendiri mengenai rakyat, yang selanjutnya berpengaruh terhadap tafsiran demokrasi. Masyarakat kapitalis menekankan pada arti bahwa rakyat terdiri atas pribadi-pribadi (individu-individu) merdeka. Dari individu yang merdeka itulah terbentuk rakyat yang merdeka. Jadi, kemerdekaan atau kebebasan manusia sebagai individulah yang paling ditekankan (penekanan utama) dalam kebijakan mengurus negara. Kemerdekaan atau kebebasan individu inilah yang menjadi inti dari demokrasi, yang dipraktekkan oleh masyarakat kapitalis. Demokrasi ini dikenal dengan nama demokrasi liberal.

1. Saiful Mujai dalam tulisannya : "Demokrasi dan Retorika Kelompok Dominan (Catatan untuk Denny J.A), Harian Republika, 4Agustus 1995
2. Otoritarianisme adalah faham yang mengesahkan sifat otoriter dalam kekuasaan, artinya mengesahkan kekuasaan yang dilakukan secara sewenang-wenang
3. Zaim Saidi dalam tulisannya : Demokrasi, di Harian Republika, 30 Januari 1994



Masyarakat sosialis-komunis mendefinisikan rakyat sebagai lapisan rakyat yang menurut mereka, adalah rakyat miskin dan tertindas di segala bidang kehidupan. Rakyat miskin (kaum proletar dan buruh) akan memimpin revolusi sosialis melalui wakil-wakil mereka dalam partai komunis. Kepentingan yang harus diperjuangkan bukanlah kemerdekaan pribadi. Bahkan, kemerdekaan pribadi menurut masyarakat sosialis-komunis harus ditiadakan karena satu-satunya kepentingan hanyalah kepentingan rakyat secara kolektif, yang dalam hal ini diwakili oleh partai komunis. Dengan demikian masyarakat sosialis-komunis, juga mengakui kedaulatan rakyat. Mereka pun menjunjung tinggi demokrasi, yang dikenal sebagai demokrasi komunis.
Masyarakat Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) menganggap dari merekalah dunia harus belajar tentang seluk-beluk demokrasi. Suatu hal hal yang wajar, karena ajaran demokrasi memang muncul pertama kali pada masyarakat Barat. Menurut Barat, yang bisa disebut demokrasi hanyalah demokrasi yang bercirikan kebebasan individu seperti yang mereka praktekkan. Di luar itu, kekuasaan yang cenderung mementingkan kepentingan masyarakat (secara komulatif) akan mereka beri cap otoritarianisme. Karenya mereka menganggap demokrasi komunis bersifat otoriter, demikian juga kepemimpinan tunggal yang diajarkan oleh Islam. Masyarakat Barat tidak hanya berhenti sampai pada memberi cap otoritarianisme, namun mereka memaksa semua bangsa untuk menganut demokrasi liberal, terlebih lagi setelah runtuhnya negara adidaya komunis Uni Soviet.

IV. Akomodasi Nilai Demokrasi Liberal dengan Nilai Lokal
Walaupun Barat berusaha memaksakan warna demokrasi pada bangsa-bangsa lain, tampaknya demokrasi liberal tidak bisa diterima secara utuh oleh setiap bangsa. Seperti yang dikemukakan oleh Presiden RI, Soeharto; "Demokrasi bisa diperjuangkan tanpa perlu mengikuti bentuk yang diperagakan di Barat dan lebih mencerminkan nilai-nilai setempat. Yang terpenting adalah bahwa setiap anggota masyarakat berhak berpartisipasi dan memiliki keterlibatan bebas dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut dirinya. Karena itu landasan umumnya tetap keharusan mempraktekkan pemilikan umum yang bebas dan adil untuk menyeleksi pemimpin-pemimpin politik ".4
Chan Heng Chee5, Direktur Institute of Southeast Asian Studies, mengemukakan hasil pengamatannya terhadap "demokrasi Asia". Yakni suatu bentuk demokrasi6 yang merupakan bentuk akomodasi demokrasi dengan nilai-nilai tradisional Asia. Ia mengatakan bahwa demokrasi khas Asia ini memiliki empat karakteristik yaitu : (1) adanya rasa komunitarian yang memberikan tekanan besar kepada kebaikan bersama, (2) adanya penerimaan yang luas dan penghargaan kepada otoritas dan hirarki, (3) adanya suatu partai

4. Afif Hersubeno dan Bani Saksono dalam tulisannya :"Presiden : Demokrasi Bukan konsep Statis". Harian republika, 22 Maret 1994
5. Pernyataan Chan Heng Chee seperti yang dikutip Ade Armando dalam tulisannya : Inilah Dia Demokrasi Asia. Harian Republika, 5 Desember 1994
6. Akomodasi adalah proses penyesuaian atau harmonisasi nilai untuk meredakan pertentangan yang ada

dominan yang harus berkuasa selama dua atau tiga dekade lebih, (4) adanya birokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat. Empat ciri yang dikemukakan ini semuanya berbeda dengan ciri demokrasi liberal. Warna komunitarian jelas berbeda dengan warna kebebasan individu. Semua hal ini tidak dipandang membahayakan di Asia. Sementara pada masyarakat Barat, semua hal ini dipandang harus ditiadakan karena akan mengancam kepentingan individu. Masyarakat Barat memandang kepentingan masyarakat akan terwujud dengan terwujudnya kepentingan individu. Dengan demikian kepentingan individulah yang harus dijamin terealisasi.
Akomodasi juga terjadi antara nilai demokrasi barat dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh kaum muslimin. Padahal sesungguhnya ajaran Islam bertolak belakang dengan ajaran demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb:"Setiap gagasan mengenai kedaulatan rakyat adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Allah dan merupakan suatu bentuk tirani, karena menundukkan kehendak seorang individu kepada orang lain. Mengakui kekuasaaan Allah artinya melakukan penentangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian (bentuk, sistem dan kondisi). Itu juga merupakan pembangkangan terhadap semua kondisi di bumi, dimana manusia berkuasa… dimana sumber kekuasaan adalah manusia ".7
Tetapi kemudian karena adanya tekanan dari penjajah Barat dan terjadinya pendangkalan pemahaman Islam (menjadi hanya sekedar pesan-pesan moral kehidupan) maka timbullah pengakomodasian nilai-nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Sebagian kaum muslimin, terutama kaum muslimin yang merasa lelah berjuang melawan kedzoliman bangsa Barat yang menjajah mereka, justru mulai melihat bahwa demokrasi dapat dimanfaatkanuntuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka mulai ‘menutup mata’ terhadap perbedaan antara nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya mau melihat ‘seolah-olah’ ada persamaan di antara keduanya. Akhirnya tak sedikit kaum muslimin yang menerima gagasan demokrasi, namun berbeda dari makna yang sesungguhnya terdapat pada lafazh tersebut. Mereka menganggap demokrasi sesuai dengan Islam karena demokrasi dibangun atas dasar syuro (musyawarah) seperti yang tercantum dalam Al Qur’an. Padahal asaas dan hakikat syuro dalam demokrasi tidaklag sama dengan yang dimaksud dalam Al Qur’an.
Masyarakat Indonesia mengembangkan bentuk demokrasi yang berbeda dengan demokrasi liberal, juga berbeda dengan demokrasi komunis. Demokrasi di Indonesia dikatakan dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan asas kekeluargaan8. Dasar Ketuhanan berarti bahwa ajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan motivator dan landasan etik, moral dan spiritual dalam kekuasaan. Kekeluargaan berarti yang harus dijadikan tujuan pengelolaan negara ialah kesejahteraan seluruh rakyat dan penyelesaian-penyelesaian permasalahan harus dilakukan dengan musyawarah penuh semangat kekeluargaan.

7. Kutipan dari "Islam dan Demokrasi" oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori. Islamica No.4, April 1994
8. Seperti yang dikemukakan Victor I. Tanja dalam tulisan : Demokrasi Berketuhanan. Hrian republika, 4 Agustus 1995









Daftar Pustaka




 Giddens, Anthony. 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
 Hikam, Muhammad A.S.. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta:LP3ES.
 http://www.geocities.com/CapitolHill/Parliament/2385
 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0010/19/opini/civi04.htm
 Jamli, Edison dkk.Kewarganegaraan.2005.Jakarta: Bumi Akasara
 Krsna @Yahoo.com. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.2005.internet:Public Jurnal
 Isjoni. 2008. Memajukan Bangsa dengan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
 Sukirman, Hartati, dkk. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
 Tilaar, HAR. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional; Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
 http://www.gemari.or.id/artikel/2420.shtml
 http://re-searchengines.com/1007renggani.html
 Syarbaini, Syahrial. 2010. Implementasi Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Graha Ilmu

0 komentar:

Posting Komentar